Pria yang wafat di Jakarta pada 15 Desember 1978 itu jugalah yang kemudian berperan menemukan tempat untuk rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 16 Agustus 1945. Itu merupakan rapat di malam jelang Hari Proklamasi Kemerdakaan 17 Agustus 1945.
"Achmad Soebardjo yang kemudian datang ke rumah Laksamana Maeda untuk minta izin menggunakan rumah Maeda. Karena kebetulan Achmad Soebardjo kan dekat dengan Maeda," ujar Yudha.
Laksamana Muda Tadashi Maeda adalah perwira perwakilan Angkatan Laut Jepang di Batavia. Meski Maeda orang Jepang, dia adalah sosok yang mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Soebardjo dan Maeda dekat karena pernah terlibat pembangunan asrama untuk menjadi tempat kursus bagi para pemuda di Indonesia.
Di rumah Maeda itulah, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo menyusun naskah teks prokalamasi kemerdekaan Indonesia. "Mereka bertiga yang duduk di satu meja, disaksikan oleh Sukarni, Sayuti Melik, dan ada beberapa orang Jepang dari angkatan laut dan angkatan darat yang hadir tapi tak mengganggu acara persiapan kemerdekaan itu kecuali duduk sebagai saksi," kata Yudha.
"Ada tiga orang tokoh utama yang menjadi aktor utama dari proses proklamasi itu, salah satunya Achmad Soebardjo. Jadi dari sisi sejarah Indonesia, rumah (Achamd Soebardjo) itu adalah salah satu jejak penting dalam narasi kemerdekaan indonesia," tegas arsitek pemerhati cagar budaya tersebut.
Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman
Yudha mengatakan sebelumnya pihak Kementerian Luar Negeri sudah pernah datang ke rumah Achmad Soebardjo untuk membicarakan nasib rumah tersebut. "Salah satunya membicarakan bagaimana memastikan rumah ini tetap bisa dilestarikan dan adakah gagasan pemerintah pusat untuk membeli melalui Kementerian Luar Negeri. Tapi Kementerian Luar Negeri tidak dalam posisi belanja barang yang nilainya ratusan miliar itu. Karena, kan, anggarannya sudah dipatok untuk diplomasi. Jadi mungkin untuk belanja barang tepatnya ke Setneg (Kementerian Sekretariat Negara), ya."
Yudha berharap rumah tersebut dapat terus dijaga kelestariannya meski belum atau tidak ditetapkan sebagai cagar budaya Indonesia. Sebab, adalah nilai besar sejarah yang terkandung di dalamnya.
Kalaupun seandainya pemerintah akhirnya menetapkan sumah tersebut sebagai cagar budaya, Yudha mengimbau agar keluarga Achmad Soebardjo diberikan kompensasi yang sesuai. "Kalau cuma ditetapkan, kemudian nggak boleh diapa-apain, kan itu membunuh keluarganya juga doang. Nggak fair. harusnya negara ini kemudian memberi kompensasi sesuai kesepakatan bahwa rumah ini akan dirawat terus dan keluarga mendapatkan apa yang diharapkan. Nggak mungkin dong kebutuhan keluarga dibunuh hanya gara-gara cagar budaya. Jadi harus berimbang dan adil," sarannya.
Source | : | Kompas.com,National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR