Mayor Jantje ini, lanjutnya bertutur, memiliki sekelompok pelayan yang secara bergantian memainkan alat musik untuk menghiburnya—entah itu musik gesek, musik tiup, musik gamelan, atau musik disebut cikal-bakal gambang kromong, dalam sajian musik kamar.
Namanya, Augustijn Michiels asal Semper Idem, timur laut Batavia. Namun, dia populer dengan sebutan Mayor Jantje. Sosoknya kerap dikaitkan dengan perannya memunculkan musik tanjidor.
Ayahnya yang bernama Jonathan Michiels, merupakan seorang mardijkers di timur laut Batavia. Dia memiliki tanah di Cileungsi dan Klapanunggal. Semenjak 1807, Mayor Jantje sebagai ahli waris tanah-tanah ayahnya.
Sepuluh tahun kemudian, Mayor Jantje membeli tanah Citereup dan tanah-tanah di sepanjang jalan raya antara Batavia dan Buitenzorg. Tanah-tanah itu membutuhkan ratusan budak untuk mengelolanya—lelaki dan perempuan.
Baca Juga: Peran Besar Tokoh Betawi MH Thamrin bagi Sejarah Sepakbola Indonesia
Sekitar akhir 1820-an, Mayor Jantje mendirikan kelompok musik “Het Muziek Corps der Papangers”. Para pemain musiknya adalah budak-budaknya sendiri. Mereka memainkan alat musik Eropa seperti tamburin Turki, terompet Perancis, drum bas, dan clarinet. Mereka kerap pentas di pesta-pesta Sang Mayor. Lagu-lagu yang dimainkan pun beragam yang mewakili etnis di Batavia. Ada musik Eropa, ada pula musik Cina.
Mayor bahkan memanggil guru pelatih atau mentor khusus untuk mengajari budak-budaknya yang berbakat musik. Sampai muncul peraturan baru yang membuat perbudakan dibubarkan, para pemusik tersebut membentuk yang merupakan muasal kelompok tanjidor. Uniknya, mereka selalu bermain tanpa partitur. Tidak ada patron atau ketentuan yang baku. Inilah ciri yang mengikuti tanjidor sampai saat ini.
Dalam perkembangannya musik ini disebut “tanjidor”. Dalam bahasa Betawi, kata “tanji” berarti musik. Namun, kata “tanji” kemungkinan berasal dari kata “tanger” dalam bahasa Portugis yang berarti “bermain musik”. Kata “tangedor” bermakna “bermain musik di luar ruangan”.
Di Societeit Concordia atau Balai Pertemuan Militer (dahulu lokasinya berada di kompleks Departemen Keuangan), tiap hari terutama Sabtu sore, dimainkan macam-macam musik sampai 1942, sebelum pendudukan Jepang.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR