Pada tahun 1835, pemukiman etnis Tionghoa mulai dilokalisasi ke satu daerah melalui kebijakan wijkenstelsel oleh Belanda. Daerah tersebut kemudian dikenal dengan nama Kampung Pondok, yang sampai sekarang masih menjadi pecinan di Padang. Kebijakan stratifikasi kolonial juga semakin memisahkan komunitas Tionghoa dan lokal.
Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan identitas Tionghoa yang mencolok. Kampung Pondok menjadi pusat dari aktivitas masyarakat Tionghoa, yang tercermin dari keberadaan Kelenteng See Hien Kiong, Pasar Tanah Kongsi, serta berbagai organisasi perkumpulan. Dalam perkembangannya, hanya ada dua perkumpulan besar yang masih bertahan hingga kini, yakni Himpunan Tjinta Teman/Hok Tek Tong (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh/Heng Beng Tong (HBT).
Baca Juga: Kung Fu: Senjata Tionghoa Merebut Kemerdekaan dan Melawan Penjajahan
Akan tetapi, pembentukan budaya tersebut akhirnya direset akibat kebijakan asimilasi Orde Baru. Orang Tionghoa pun beradaptasi kembali, dan perlahan-lahan warisan bahasa dan budaya Tionghoa mulai terasimilasi dengan budaya setempat.
"Bisa dikatakan orang Tionghoa telah menempuh jalan panjang penuh pengorbanan untuk bisa bertahan," kata Rini. Ia menambahkan, kebijakan asimilasi ini menciptakan hibriditas kebudayaan. Salah satu wujud hibriditas ini terlihat dari munculnya panggilan kekerabatan khas Tionghoa Padang, seperti cidang (cici gadang) untuk memanggil perempuan yang lebih tua. Selain itu, muncul pula makanan-makanan peranakan seperti gulai dan udang balado. "Cara bicara orang Padang Tionghoa juga sudah seperti orang Minang, lantang dan keras," ujarnya.
Baca Juga: Memahami Dunia Tionghoa Indonesia, Antara Totok dan Peranakan
Proses interaksi ini juga melahirkan percabangan bahasa Minang yang dikenal dengan nama Minang Pondok. Dalam bahasa Minang Pondok, pengucapan kosakata Minang lebih mengikuti dialek Tionghoa, seperti aia (air) menjadi aek, dan batuak (batuk) menjadi batok. "Bahasa Minang Pondok menjadi benang merah yang menyatukan seluruh konstruksi sosial masyarakat Tionghoa di kota Padang," jelas Rini.
Setelah berakhirnya Orde Baru, kebudayaan Tionghoa sudah mulai dirayakan secara terbuka di Padang. Walaupun demikian, orang Tionghoa Padang dihadapkan kepada sejumlah tantangan baru, seperti isu-isu rasial dan meningkatnya retorika politik identitas.
"Diperlukan kerja keras dari semua pihak, baik masyarakat Tionghoa dan masyarakat Minang, untuk merawat dan menjaga pencapaian [kerukunan] ini," ungkap Rini.
Baca Juga: Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR