Nationalgeographic.co.id - Selama masa kepresiden Suharto, ada banyak fenomena pembredelan terhadap media, baik cetak maupun elektronik. Pemberedelan terjadi demi menghalangi berita atau narasi kritis terhadap pemerintah.
Menurut Ignatius Haryanto, dosen sejarah jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, pembredelan sudah dilakukan pada pasca 1965 pada sekitar 70 surat kabar. Pembredelan itu dilakukan militer terhadap media yang berafilisasi kiri, dekat dengan PKI, atau berafiliasi dengan presiden Sukarno.
"Banyak wartawan-wartawan media itu yang ditangkap, masuk penjara, sampai dibuang ke Pulau Buru. Bahkan ada yang tidak boleh bekerja lagi di media. Itu gelombang pertama [pemberedelan]," katanya saat dihubungi National Geographic Indonesia, Selasa (22/06/2021).
T. Sigit Wijanarko dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam skripsinya menulis, pada 1973 Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik dalam tiga partai besar; Golkar, PDI, dan PPP.
Peraturan itu menghentikan hubungan partai dan organisasi massa terhadap pers, yang diharapkan media tidak lagi dapat didanai oleh parpol. Pemerintah juga melarang pers untuk memuat tulisan pemberitaan yang dapat menciptakan permusuhan, keonaran, pertikaian, dan kekacauan di masyarakat.
Baca Juga: Mengenang G30S, Bagaimana Reaksi Media Asing Saat Peristiwa Ini Terjadi?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR