Para serdadu Jepang mencoba memperbaiki instalasi industri minyak sembari menunggu tenaga ahli dan teknisi perminyakan. Tenaga-tenaga perminyakan yang bernaung di bawah Nampo Nen Rioso Butai, di Angkatan Darat Jepang. Dengan adanya tenaga ahli itu, ditambah tenaga perminyakan Indonesia yang bekerja di perusahaan minyak, perbaikan industri perminyakan berlangsung cepat.
Dalam waktu relatif singkat, Jepang telah mampu memproduksi minyak bumi. Meski perbaikan dilakukan dengan peralatan dan suku cadang serba terbatas, Jepang mampu mendapatkan sumur minyak baru, seperti di Lirik, Sumatera Tengah; Kawengan, Cepu; dan Minas I, Riau.
Jepang memompa sumur-sumur minyak Indonesia dengan kekuatan penuh. Minyak diperlukan untuk menggerakkan mesin-mesin perang negeri Matahari terbit itu. Kurang lebih selama dua bulan, Jepang telah menangguk minyak bumi dari sumur yang telah diperbaiki dan sumur baru.
Dalam tahun 1943 saja, produksi minyak bumi zaman Jepang ini mencapai 50 juta barrel, yang pada 1940 produksi mencapai 65 juta barrel.
Aroma perang masih menyelimuti dunia. Tentara Sekutu diam-diam terus merangsek. Sekutu dan Jepang saling intai dan saling incar. Sekutu ternyata tertakdirkan menjadi pemenang.
Usai bom atom menghancurkan Hiroshima pada 6 Agustus 1945, disusul Nagasaki pada 9 Agustus, Jepang akhirnya mengibarkan bendera putih pada 14 Agustus.
Tiga hari kemudian, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada zaman kemerdekaan ini industri minyak Indonesia memasuki babak baru. Kendati telah merdeka, Sekutu memasuki Indonesia.
Dalam barisan Sekutu, terdapat pasukan Belanda. Ini berarti juga ada kepentingan tiga perusahaan kelas kakap—Shell, Caltex (kini, Chevron Pasific Indonesia) dan Stanvac, yang telah menguasai berbagai ladang dan kilang minyak sebelum masa perang.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR