BURUNG-BURUNG PIPIT PULAU MERRITT SUDAH TIDAK ADA LAGI. Tempat peristirahatan terakhir pipit pantai bulu gelap (dusky seaside sparrow) tersebut adalah di dalam botol kaca pada Koleksi Ilmu Unggas di Florida Museum of Natural History. Mata burung tersebut tertutup lapisan tebal dan bulu-bulunya berantakan akibat alkohol yang hampir memenuhi botol. Sebuah label kertas menyatakan bahwa burung tersebut, seekor jantan tua, mati pada 16 Juni 1987. Tiga setengah tahun setelah kematian pipit itu, sebuah lema ringkas muncul di Federal Register yang merupakan jurnal resmi pemerintah AS. Lema itu menyatakan bahwa pipit pantai bulu gelap kini telah punah dan sudah dihapus dari daftar pemerintah federal tentang kehidupan liar yang terancam punah (endangered) dan langka (threatened). Dengan begitu, burung dan habitatnya yang kritis—rawa air payau Pulau Merrit di Florida yang juga merupakan lokasi John F. Kennedy Space Centre—tidak akan lagi dilindungi oleh Undang-Undang Spesies Terancam Punah (Endangered Species Act, ESA).
!break!
Apa yang membunuh pipit dari Pulau Merrit? Jawabannya dalam satu kata: kemajuan. Tak seorang pun mengonsumsi pipit pantai bulu gelap yang berhabitat di pinggir pantai ataupun memburunya sebagai aktivitas olah raga. Sarang-sarang burung itu tidak dirusak dan tidak ada yang dimangsa predator yang baru dimasukkan ke pulau itu. Namun lewat penyemprotan DDT untuk mengendalikan nyamuk serta pembangunan kolam buatan yang memungkinkan vegetasi air tawar menggantikan rawa air payau, manusia telah mengubah ekosistem—dengan harapan agar meningkatkan kualitas hidup mereka—lalu menyadari dengan sangat terlambat bahwa betapa pipit pantai bulu gelap begitu terikat dengan habitatnya di tengah-tengah ilalang rawa. Pipit terakhir yang dibotolkan adalah gambaran mengenai satu spesies yang habitatnya lenyap selamanya.
Selama 35 tahun, sejak Richard Nixon mengesahkannya menjadi undang-undang pada Desember 1973, Undang-Undang Spesies Terancam Punah telah menjalankan peran sebagai rumah singgah biologi, semacam status perlindungan hukum bagi makhluk hidup yang memiliki risiko kepunahan. Mungkin akan lebih akurat jika undang-undang tersebut dinamakan Undang-Undang Spesies Langka dan Habitat karena tujuan undang-undang itu adalah untuk melindungi spesies melalui identifikasi dan perlindungan habitatnya yang kritis—hutan dewasa bagi burung hantu totol utara, Sungai Little Tennessee bagi ikan snail darter. Sejak ditandatangani, undang-undang tersebut sudah menuai kontroversi, bukan karena undang-undang itu berupaya untuk menyelamatkan tumbuhan dan satwa liar, tetapi karena usahanya untuk menyelamatkan habitat yang dibutuhkan tumbuhan dan kehidupan liar untuk bertahan hidup. Biasanya—dan inilah yang menjadi sumber masalah—hal itu bermakna mencegah manusia mengubah ekosistem dalam bentuk apapun.
Peraturan yang disahkan pada tahun 1973 itu merupakan undang-undang yang sederhana, ringkas serta tegas. Peraturan tersebut meminta setiap departemen dan lembaga dalam pemerintah federal untuk bekerja secara nyata melindungi spesies yang terancam punah dan langka. Undang-undang tersebut meminta pemerintah federal untuk bekerjasama dengan pemerintah negara bagian dalam melaksanakannya serta mengikat AS untuk mematuhi beberapa perjanjian internasional yang bertujuan melestarikan spesies yang menghadapi kepunahan. Dalam pengertian tertentu, undang-undang tersebut berperan sebagai undang-undang hak asasi bagi semua makhluk hidup selain manusia.
!break!
Ada rasa keterdesakan dalam undang-undang tersebut—sebuah keterdesakan yang dibagi bersama Undang-undang Udara Bersih dan Air Bersih tahun 1970 dan 1972. Yang melatarbelakangi peraturan-peraturan itu adalah gelombang kesadaran terhadap lingkungan yang muncul dari berbagai sumber—termasuk buku Silent Spring karya Rachel Carson yang diterbitkan tahun 1962—dan kenyataan pilu yang serta merta bahwa banyak spesies seperti paus dan bangau batuk rejan (whooping crane, Grus americana) serta makhluk senasib lainnya melorot jumlahnya.
Apakah keterdesakan tersebut berkurang saat ini? Pada tahun 1973, jumlah penduduk AS 100 juta lebih sedikit dibandingkan sekarang dan jumlah manusia di planet ini juga lebih sedikit 2,8 miliar jiwa. Para ilmuwan baru belakangan mulai membayangkan bahwa perubahan iklim dengan dampak yang kuat seperti yang kita perkirakan tengah terjadi dan membayangkan dampak perubahan iklim itu terhadap kehidupan liar serta tumbuhan. Berbagai laporan—tentang hilangnya habitat, deforestasi, penjarahan besar-besaran terhadap persediaan ikan di laut, berkurangnya populasi burung migran—secara nyata mengindikasikan bahwa gambaran banyak spesies, mungkin sebagian besar, kini lebih buruk dibandingkan 35 tahun yang lalu.
Dalam kurun waktu tersebut, Undang-Undang Spesies Terancam Punah telah berubah menjadi ajang pertempuran. Sebagian karena undang-undang itu telah menciptakan konflik berkelanjutan antara hak mengatur dan mengembangkan properti sebagaimana yang dirasa cocok oleh pemiliknya dengan kebutuhan melindungi habitat yang kritis bagi spesies terancam punah yang hidup di dalamnya. Maksud dan tujuan undang-undang tersebut sangatlah jelas. Undang-undang tersebut melarang ”pengambilan” semua jenis spesies terancam punah dan menjadikan setiap aktivitas perusakan habitat yang kritis sebagai kegiatan ilegal, bahkan di atas lahan pribadi sekalipun. Beberapa pemilik lahan merasa hak-hak hukumnya dilanggar oleh peraturan tersebut. Para pemilik lahan tersebut membawa argumen mereka hingga ke Mahkamah Agung dan sebagian besar kalah. Beberapa pemilik lahan yang mengkhawatirkan dampak yang dapat dihasilkan oleh Undang-Undang Spesies Terancam Punah bahkan telah mempercepat aktivitas eksploitasinya terlebih dahulu—di antaranya dengan menebangi pepohonannya—ketika satu spesies tengah dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam daftar. Untuk menghindari hal tersebut serta menciptakan katup pengaman hukum, pemerintah federal telah menciptakan program seperti Safe Harbor. Para pemilik properti yang terlibat di dalamnya setuju untuk melindungi habitat dan sebagai gantinya mendapatkan kepastian bahwa propertinya tidak akan dikenai batasan-batasan yang lebih restriktif.
Namun undang-undang tersebut tengah terancam bahaya. Keberadaannya belum diotorisasi ulang—diberi pembiayaan multi tahun—sejak akhir 1980-an dan sebaliknya bergantung pada dana alokasi tahunan yang dimintakan oleh Departemen Dalam Negeri. Pemerintahan Bush telah melaksanakan hampir semua hal yang dapat dilakukan untuk mengancam keberlanjutan undang-undang tersebut lewat pengurangan pembiayaan dan pemolitikan evaluasi ilmiah yang berfungsi menetapkan status spesies yang dalam bahaya. Ketika tulisan ini siap cetak, hanya 64 spesies yang telah dimasukkan dalam daftar selama hampir delapan tahun masa pemerintahan George W. Bush di Gedung Putih. Pada masa pemerintahan ayahnya yang berlangsung empat tahun, jumlah total spesies yang tercatat sebanyak 235.
!break!
Proses pencantuman satu makhluk ke dalam daftar tersebut tidaklah mudah. Terkadang satu spesies diajukan oleh Fish and Wildlife Service atau National Marine Fisheries Service. Terkadang diajukan oleh masyarakat atau sebuah kelompok konservasi. Kandidat yang didaftarkan harus menjalani peninjauan ilmiah dan periode tanggapan masyarakat. Salah satu tambahan terbaru—beruang kutub yang diberikan status langka pada Mei silam—adalah sebuah contoh sulitnya proses tersebut. Habitat beruang kutub tengah menyempit akibat perubahan iklim, tetapi juga sebagai dampak aktivitas ekploitasi mineral dan minyak bumi di wilayah Arktika. Dirk Kempthorne, Menteri Dalam Negeri, baru mendaftarkan beruang kutub setelah dipaksa oleh pengadilan federal dan setelah menyebut Undang-Undang Spesies Terancam Punah sebagai ”bentuk hukum yang paling tidak fleksibel yang pernah diciptakan oleh Kongres.” Dalam bulan-bulan terakhirnya, pemerintahan Bush mengajukan perubahan regulasi yang akan mengebiri undang-undang tersebut dengan mengizinkan lembaga-lembaga pemerintah, bukan para ilmuwan, untuk menentukan perlu tidaknya satu spesies dilindungi.
Saat ini, sebanyak 1.050 spesies di AS dan perairan sekitarnya terdaftar sebagai terancam punah. Tiga ratus sembilan lainnya tercatat sebagai spesies langka atau sangat mungkin menjadi terancam punah dalam waktu dekat. Bagi sebagian besar spesies yang ada di dalam daftar tersebut, terdapat beberapa rencana pemulihan—beberapa strategi untuk merestorasi populasi yang menurun drastis—termasuk di antaranya berbagai kebijakan seperti melindungi pantai kritis yang menjadi tempat bersarang penyu tempayan Atlantik atau memperbaiki habitat lahan basah bagi ular air perut tembaga (copperbelly water snake). Namun, status habitat kritis dirancang hanya bagi 520 spesies. Ketika rencana pemulihan tersebut menjadi kegiatan yang nyata, jumlahnya tidak terlalu membanggakan. Sejak 1973, hanya 39 spesies di AS yang telah dihapus dari daftar spesies terancam punah dan langka. Sembilan di antaranya telah punah dan 16 lainnya dicoret setelah munculnya bukti-bukti bahwa spesies tersebut ternyata tidak terancam. Hanya 14 spesies yang berhasil dipulihkan sehingga cukup kuat untuk dikeluarkan dari daftar. Sementara itu, pendaftaran masih menunda hampir 300 kandidat resmi, segala jenis mulai dari tanaman gandum (buckwheat) Las Vegas hingga kupu-kupu biru Miami.
Para kritikus mengatakan bahwa angka-angka tersebut memperlihatkan betapa tidak efektifnya Undang-Undang Spesies Terancam Punah. Namun sebaliknya, angka tersebut mungkin dapat memperlihatkan seberapa besar tekanan ekonomi dan politik yang telah dihadapi oleh undang-undang itu. Selain itu, terdapat cara-cara lain untuk mengukur tingkat kesuksesannya. Seberapa banyak spesies yang dapat lenyap tanpa kehadirannya? Mungkin, cara pengukuran terbaik terhadap nilai undang-undang tersebut adalah perdebatan yang ditimbulkannya, kenyataan bahwa undang-undang itu membuat spesies terancam punah dikenal publik dan membantu dalam menyadarkan kita akan imbas dari perbuatan kita. Undang-undang tersebut mengingatkan kita bahwa apa yang terlihat seperti keputusan ekonomi sederhana—pembangunan kawasan satelit kota, lelang kontrak pengeboran yang baru, atau penanaman lebih banyak jagung dalam rangka produksi etanol—harus dipertimbangkan dalam kerangka ekonomi alam yang lebih luas, di mana banyak kehidupan terlibat.
Beberapa makhluk sebegitu menjadi perlambang sehingga mudah dipahami mengapa kita rela repot-repot menyelamatkannya. Elang bondol (bald eagle) sudah dikeluarkan dari daftar pada tahun 2007 karena jumlahnya di negara-negara bagian AS kecuali Alaska dan Hawaii telah berhasil diperbarui—dari di bawah 500 pasang pada 1963 menjadi sekitar 10.000 pasang pada 2007. Satu populasi beruang grizzly—di Yellowstone National Park—telah diluluskan dari daftar. Demikian halnya dengan spesies mengesankan lainnya seperti alap-alap peregrine dan aligator Amerika.
!break!
Namun, bagaimana dengan nasib lalat pecinta bunga Delhi Sands (Delhi Sands flower-loving fly), serangga berukuran tiga sentimeter yang kini hanya hidup di sejumlah kecil lokasi di Riverside dan San Bernardino County di California selatan? Atau nasib 165 kumbang macan Salt Creek (Salt Creek tiger beetle) yang tersisa, yang hidup di sejumlah petak rawa air asin di dekat Lincoln, Nebraska? Bagaimana dengan nasib bangau sandhill Mississippi yang telah berkurang jumlahnya menjadi hanya 25 pasang hasil kembang biak? Atau remis mutiara mata Higgin (Higgins’ eye pearly mussel) yang sebarannya telah menyusut hingga hanya ada di sejumlah kolam di Sungai Mississippi dan anak-anak sungainya? Bagaimana dengan nasib burung pantai seperti kedidi merah yang tidak terdaftar secara nasional, tetapi tengah mengalami penurunan curam akibat pengambilan belangkas secara berlebihan? Padahal, belangkas adalah pakan utama burung itu.
Kebanyakan orang belum pernah mendengar, apalagi melihat, makhluk-makhluk tersebut. Mereka tidak memiliki daya tarik yang nyata, kecuali kecantikan hakikinya. Makhluk-makhluk itu tidak mewakili apapun selain kehidupannya sendiri yang telah dihambat oleh pembangunan, polusi, atau penyebaran spesies yang invasif.
Setelah 35 tahun, nyata sudah bahwa Undang-Undang Spesies Terancam Punah sesungguhnya adalah sebuah ujian—dan bukan sekedar untuk melihat apakah kita mampu melakukan langkah-langkah ilmiah, birokratis, dan hukum secara cukup cepat yang berpengaruh positif bagi ribuan spesies yang terancam. Undang-undang tersebut merupakan ujian prioritas—ujian yang akan dihadapi kembali oleh Presiden terpilih yang baru beserta pemerintahannya. Setelah segala pelajaran politis yang rumit, AS sudah belajar perihal perlindungan spesies yang dalam bahaya, akankah negara itu berkomitmen ulang pada tugas yang sesuai dengan ketegasan dan idealisme 1973?
!break!
Untuk kesekian kalinya, pertarungan dalam memasukkan satu spesies ke dalam daftar—memberinya perlindungan hukum—ditemukan dalam pilihan yang kita buat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, mendaftarkan greater-sage grouse, unggas yang satu keluarga dengan sempidan dan kuau, dapat menghambat pengembangan tambang gas alam dan batu bara di Wyoming. Namun, kita dapat mengganti rugi hilangnya produksi tersebut melalui penghematan energi, sesuatu yang memang seharusnya kita lakukan untuk memperlambat perubahan iklim. Kondisi ini tampak bagai sebuah paradoks. Menambahkan spesies ke dalam daftar terancam punah membutuhkan kerjasama di antara para ilmuwan, legislator, pelestari lingkungan, dan warga biasa. Namun pada akhirnya, yang menyelamatkan spesies adalah pengekangan manusia, yaitu kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhan kita dengan kebutuhan makhluk hidup lainnya di planet ini.
Kita tidak memiliki cara untuk menebak seberapa lama umat manusia mampu bertahan hidup, tetapi satu hal sudah pasti. Semakin baik kesempatan untuk bertahan hidup yang dimiliki tumbuhan, binatang, dan serangga yang Anda lihat dalam foto-foto ini—dan seluruh kerabatnya yang terancam punah—semakin baik pulalah kesempatan bagi kita untuk bertahan hidup.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR