Raja Macbeth dalam cerita Shakespeare diberitahu bahwa dia tak perlu takut pada apapun jua, hingga satu saat pepohonan di sekitarnya datang menghampiri istana. Sang tiran pun bernapas lega karena, “siapa yang mampu memengaruhi hutan, menyuruh pohon mencabut akarnya dari tanah?”
!break!
Macbeth tentu belum pernah datang kei Pulau Barro Colorado di Panama.
Waktu menunjukkan pukul 9 malam dan suasana sungguh gelap gulita, sehitam nenek sihir yang terbakar. Namun dalam berkas cahaya yang dipancarkan senter kepalaku, bagian-bagian pohon tampak melepaskan diri dan bergerak sesuka hati. Sebuah ranting berukuran 10 sentimeter berdengung di atas kepalaku dan mendarat keras di dahan sebelah. Sehelai daun hijau kekuningan mengorek-ngorek setumpuk daun coklat. Si daun hijau tak menemukan yang dicari, dia pun bergerak ke tumpukan lainnya.
Kuhampiri para ruaya itu untuk melihatnya lebih dekat. Meski mengenal betul apa mereka sesungguhnya, aku tetap terkagum dengan detail peniruannya, dengan kekocakan upaya kerasnya mengimitasi lingkungan di sekitarnya. Si “ranting” adalah seekor serangga batang, specimen menakjubkan yang berasal dari klan Phasmatodea dengan baju luarnya berupa koyakan kulit kayu yang meyakinkan, kepala dan tubuhnya yang berbentuk tabung memanjang ditandai dengan
pucuk-pucuk tunas dan patahan pangkal daun yang palsu—hal-hal kecil yang menjadikan ranting tampak selayaknya sebuah ranting.
Pada siang hari, serangga-serangga ini jarang bergerak dan hampir tidak mungkin dibedakan dari latar belakang hutan yang ditiru, dan tentu saja hal itu adalah tujuan utamanya: untuk tetap tak terlihat oleh berbagai predator bermata tajam yang menggunakan pengelihatan untuk berburu. Namun ketika malam turun, tonggeret batang dan daun meninggalkan sikap tumbuhannya untuk mencari makan—pada dedaunan dan detritus di lantai hutan—yang pada suatu titik, kelihaian serangga-serangga itu dapat dikagumi berkat pencahayaan artifisial modern kita.
Manusia terpikat sekaligus terganggu oleh mimikri. Ketika kecil, kita bermain dandan-dandanan serta berpura-pura, dan kita memahami saudara sesama manusia lewat mereka ulang kehidupan sehari-hari. Penyamaran kita yang paling rumit—katakanlah saat Halloween—seringkali terjerat dengan ketakutan kita yang paling dalam. Tokoh pembunuh Hollywood manakah yang berani tampil sempurna tanpa memakai topeng Munchian atau rambut palsu milik ibunya?
!break!
Demikian pula, mimikri di alam dapat memesona atau menjijikkan kita. Meski begitu, apapun penilaian yang dibuat manusia, hal yang pasti adalah, tipuan itu berhasil dan alam ini dipenuhi oleh berbagai serangga penyamar ala P.T. Barnum (pemain sirkus terkenal A.S.), yang mengisi tiap ekosistem binatang, pengecoh segala indera. Para ahli biologi baru mulai menghitung banyaknya jenis spesies yang melakukan mimikri ataupun menelusuri detail evolusi dan genetika dari setiap penyamaran yang digunakan. Terkadang penipuan tersebut berfungsi sebagai kamuflase yang memungkinkan pemakainya lolos dari deteksi predator, mangsa, atau seringkali bahkan keduanya: Di Panama aku menemukan seekor belalang sembah yang menampakkan diri seperti sekumpulan ranting radicchio, penyamaran yang sempurna bagi pemburu diam-diam yang memangsa serangga pemakan daun yang seringkali menjadi santapan kesukaan reptil dan burung pemakan serangga. Pada waktu-waktu tertentu, si penipu ingin penampilannya diperhatikan; itulah tujuannya. Seekor ikan pemancing (lophiiformes) akan menggoyangkan kepalanya sehingga sungut gemuknya bergetar seperti cacing dan memancing ikan lainnya. Anggrek bangkai memekarkan bunga-bunga besar keunguan berbau yang terlihat dan tercium seperti daging busuk untuk menarik perhatian lalat-lalat pemakan bangkai yang akan menghinggapi bunga-bunga tersebut. Serangga itu lalu terpapapar serbuk sari dan mungkin, mungkin saja, membantu anggrek tersebut berkembang biak.
Bentuk indera yang menentukan jenis mimikri bergantung pada kemampuan indera dari target pemirsa si peniru. Bagi kita, primata yang mengandalkan penglihatan, tipuan yang paling familiar adalah peniruan visual, mimik yang beradaptasi untuk mengecoh mata, seperti katak-katak sungai yang meringkuk di dasar sungai dan terlihat sama mulus, sama bundar, dan sama matinya seperti bebatuan mengilap di sekitarnya, atau sang ulat, yang jika merasa takut, akan menaikkan bagian depan tubuhnya dan menampakkan wajah pink salmon berpendar dengan sepasang mata ular yang mengerikan. Namun terdapat juga peniruan suara, seperti spesies ngengat macan nan lezat yang menghalau kelelawar dengan meniru bunyi klik ultrasonik dari ngengat beracun yang dibenci kelelawar, atau seperti burung drongo besar berekor raket dari Sri Langka, yang memimikri suara burung lainnya untuk menciptakan beraneka ragam suara seakan berasal dari berbagai spesies burung sehingga mengizinkan para drongo untuk mencari makan dengan lebih aman dan efisien.
Kemudian, ada juga mimik indera penciuman, seperti bebauan edan laba-laba bolas yang mampu memikat ngengat jantan dengan mengeluarkan imitasi aroma tubuh ngengat betina. Bahkan terdapat pula mimik indera peraba, termasuk diantaranya sejenis jamur parasit yang hidup di lorong-lorong bagian dalam gundukan sarang rayap, di mana jamur itu tetap hangat, lembap, dan tanpa saingan. Rayap terkenal sebagai makhluk yang sangat ulet dalam menjaga kerapihan tempat tinggalnya. Bagaimanakah cara sang jamur memperoleh kenyamanan dan bukan pembersihan? Dengan mengadopsi bentuk dan tekstur telur rayap yang matang.
Kisah-kisah mimikri dapat terdengar seperti dongeng-dongeng O. Henry, permasalahan-permasalahan aneh yang dapat diatasi dengan rapi. Sebagai contoh, ulat merupakan pemakan yang rakus. Mereka melahap banyak daun sepanjang hidupnya. Burung-burung menggemari ulat yang gemuk, dan sambil terbang mengawasi dari atas, mereka mencari tanda-tanda berlangsungnya aktivitas para ulat, hal yang paling mencolok adalah dedaunan yang rusak. Untuk merintangi upaya pengintaian para burung dari udara, satu spesies ulat telah mengadopsi cara makan yang baru. Daripada merobek dedaunan secara sembarangan, ulat Geometridae tersebut memotong daun-daunnya dengan terampil, teriris-iris, bergerak di mengelilingi ujung-ujung dedaunan seperti seorang penjahit yang menggunakan guntingnya, keluar masuk, zig dan zag. Ketika sang ulat telah usai bersantap, dedaunannya akan tampak lebih kecil, namun bentuknya masih terlihat bergerigi seperti semula.
!break!
Terkadang, pertahanan terbaik adalah dengan berpura-pura menjadi sesuatu yang menakutkan. Dalam laporan terbaru di Proceedings of the National Academy of Science, Leslie Saul-Gershenz dan Jocelyn Millar memaparkan kasus kumbang lepuh (Meloe franciscanus) yang buruk rupa dengan tawon (Habropoda pallida) yang kelam. Kumbang lepuh hidup di gurun pasir barat daya Amerika Serikat. Betinanya meletakkan telur di rerumputan yang jadi tempat mencari makan tawon. Telur-telur kumbang menetas berbarengan dan dengan cepat ribuan larva tersebut bergabung membentuk formasi yang padat. Anak-anak kumbang itu berkumpul dalam bentuk oval yang bagus, gelap dan berbulu halus. Semua bepergian dalam sebuah kesatuan unit, memanjat dan menuruni tiap helai rumput. Mereka terlihat dan bertindak laksana—seekor tawon betina. Tak berapa lama kemudian, kumpulan larva itu mulai mengeluarkan tiruan feromon sehingga tercium seperti bau seekor tawon betina pula. Seekor tawon jantan pun hinggap di atas sesuatu yang dikiranya sebagai pasangan kawin, dan kerumunan kumbang lepuh tersebut menggelayuti si tawon jantan beramai-ramai. Merasa dikecewakan dan tanpa menyadari beban bawaan yang menggelendotinya, si tawon meneruskan pencariannya akan cinta yang baru. Jika tawon betina yang asli ditemukan dan didekati, larva kumbang akan segera meninggalkan si jantan dan melekat pada si betina. Tawon betina akan membawa larva-larva ke tempat yang memang dituju gerombolan tersebut, ke sarang tawon yang kaya akan persediaan pangan. Larva-larva kumbang akan melepaskan diri dari tawon betina, menetap, dan menyantap nektar, polen, serta makanan yang terbaik, yakni telur-telur tawon dengan rakusnya hingga dewasa.
Tentunya, karikatur alam yang paling cerdik sekalipun tidak memiliki dalang cerita di balik jalan hidupnya. Mimikri merupakan contoh evolusi melalui seleksi alam, perjuangan keras para induk dalam mengembangbiakkan keragaman keturunan yang akan diseleksi habis oleh kebetulan-kebetulan alam yang kejam terhadap segala bentuk kelemahan. Jika penampilan yang mirip kotoran burung mampu membuka cukup peluang untuk bertahan hidup dan berkembang biak, anak cucumu kemungkinan besar akan mewarisi penampilan pupuk kandangmu yang menguntungkan. Mungkin salah satu keturunanmu akan mampu melebihi kemampuan mimikri kotoran burungmu dan dalam beberapa ratus generasi berikutnya, ciri tersebut akan tersebar luas diantara keseluruhan populasi dan menjadi standar ideal bagi semua anggotanya.
Mimikri juga menunjukkan betapa berantakan, miskin perencanaan, dan ala kadarnya bahan sebuah proses evolusi. Sebagai contoh, Ximena Nelson dan Robert Jackson melaporkan dalam Proceedings of the Royal Society mengenai dilema yang dihadapi Myrmarachne jantan, laba-laba pelompat. Seperti sejumlah laba-laba pelompat lainnya di dunia, arachnid-arachnid ini telah berevolusi sehingga berpenampilan seperti semut, sebuah strategi yang dimainkan untuk memunculkan antipati yang dimiliki banyak predator terhadap serangga-serangga sosial yang agresif, dengan senjata yang berbahaya, dan mendominasi ekologi itu. Namun laba-laba jantan bermasalah dengan strategi dasar tersebut karena ritual perkawinan mengharuskan para jantan untuk memiliki bentuk mulut yang memanjang, yang dapat mengacaukan keutuhan tampilan ‘semut’. Proses evolusi telah membuahkan sebuah kompromi: laba-laba betina tampil layaknya semut biasa, sedangkan yang jantan dengan taring besarnya menyerupai semut yang tengah membawa beban di mulutnya, seperti yang seringkali dilakukan semut pekerja. Cerdik, namun tidak sempurna. Kenyataannya, walaupun laba-laba jantan pelompat, seperti yang betina, sama-sama mampu menghindar dari kalangan pemburu anti-semut, kaum jantannya cenderung menjadi mangsa bagi predator yang mengincar semut yang paling tak berdaya untuk melawan—mereka yang membawa beban bawaan di mulutnya.
Para ilmuwan sangat tertarik dengan bentuk mimikri yang tidak sempurna, di mana satu organisme hanya setengah-setengah dalam menjiplak penampilan makhluk lainnya. Dalam beberapa kasus, mimikri kasar tersebut mungkin menyiratkan garis keturunan yang baru mengadopsi pendekatan mimikri ketika evolusi baru mulai mengasah simulasinya. Dalam beberapa kasus lainnya, penyimpangan tersebut merupakan hasil dari upaya sebuah spesies peniru untuk menarik diri dari bentuk penjiplakan yang tak diinginkan. Jika tampilan warna pertahanan yang dengan susah payah telah Anda kembangkan untuk menyiratkan bahwa Anda bukanlah mangsa yang lezat kemudian dimimikri oleh terlalu banyak makhluk lainnya maka nilai pertahanan Anda tidak akan terlalu efektif lagi.
Mimikri juga dapat menjadi cara yang baik untuk bersolek, atau belajar, atau menambah kenalan. Diantara burung-burung penyanyi dan paus bongkok, jantan yang saling bersaing tampaknya saling meniru lagu yang dinyanyikan lawannya. Beberapa lumba-lumba saling meniru lompatan-lompatan terbang rekannya. Burung beo merupakan jagonya dalam membeo dan meniru merupakan keahlian kera besar, yang menjelaskan mengapa orangutan mampu belajar memasak panekuk, simpanse berburu menggunakan peralatan, dan manusia saling memuji serta mencerminkan kebahagiaan rekannya melalui senyuman.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR