Untuk ukuran sungai dalam Alkitab yang namanya membangkitkan ketenangan ilahiah, Sungai Yordan sama sekali tak mencerminkan perdamaian di Bumi. Dari gemuruh hulunya di dekat lereng Gunung Hermon yang tercabik peperangan hingga lumpur berbusa sewarna kopi di Laut Mati lebih dari 300 kilometer di hilirnya, Sungai Yordan harus berjuang hidup dalam wilayah yang rawan. Negeri-negeri yang dilaluinya memasang ranjau darat di pantai, atau berperang demi memperebutkan beting pasir. Air selalu berharga di daerah kering ini. Namun, kemarau panjang selama enam tahun dan penduduk yang kian bertambah menjadikannya sumber konflik baru antara Israel, Palestina, dan Yordania yang berebut air sungai penyambung hidup itu.
!break!
Semua itu membuat adegan pada suatu pagi di bulan Juli lalu semakin luar biasa. Dengan dikawal tentara, tiga ilmuwan—dari Israel, Palestina, dan Yordania—berdiri berendam hingga lutut di Sungai Yordan. Mereka berada hampir 65 kilometer di selatan Danau Galilea, di bawah bekas jembatan yang dibom selama Perang Enam Hari pada Juni 1967. Ketiga ilmuwan itu menyurvei sungai untuk Friends of the Earth Middle East (FOEME), LSM regional yang bertujuan menjalin perdamaian melalui penatagunaan lingkungan. Cuaca terik di zona bekas perang itu, tetapi mereka tampaknya tak peduli pada bahaya sengatan panas, tertimpa bongkahan beton, atau menginjak ranjau yang terbawa banjir ke hilir.
"Hei, Samer," kata Sarig Gafny, ekolog Israel yang mengenakan topi hijau lebar, "coba lihat makhluk kecil ini." Samer Talozi, insinyur lingkungan muda yang tinggi dan percaya diri dari Yordania, melihat dari belakangnya. Invertebrata kecil itu dimasukkan rekannya yang warga Israel ke dalam wadah sampel dari kaca. "Wah, hidup!" katanya sambil tertawa. "Krustasea jagoan!" Beberapa meter dari mereka, Banan Al Syekh, ahli botani yang gemuk dan ramah dari Tepi Barat, dengan santai berjalan ke hulu. Dia mengarahkan kameranya ke pohon berbunga di tengah gelagah dan tumbuhan air lainnya di sepanjang tepi sungai itu. "Hati-hati, sobat," Gafny memperingatkannya, "dan apa pun yang kaukerjakan, jangan sampai terinjak ranjau keparat itu."
Di samping peledak mematikan, bagian Sungai Yordan yang ini—kira-kira lebar tujuh meter dan dalam beberapa meter—demikian tercemar sehingga patut disyukuri jika ada tanda kehidupan akuatik. Salah satu penyebabnya adalah kelangkaan air: Dalam lima dasawarsa ini, Sungai Yordan telah kehilangan lebih dari 90 persen dari debit normalnya. Di hulu, di Danau Galilea, air sungai ini dialihkan melalui Proyek Saluran Air Nasional Israel ke kota dan pertanian di Israel. Sementara beberapa bendungan yang dibangun Yordania dan Suriah, terutama digunakan untuk pertanian, ikut mengurangi debit anak sungai itu. Jadi, sekarang alih-alih mengalirkan air bersih, bagian hilir Sungai Yordan malah membawa campuran beracun air asin dan limbah cair, mulai dari air pelimbahan hingga sisa pertanian, yang masuk ke nadi sungai seperti transfusi darah yang tercemar.
Di seluruh dunia, daftar panjang daerah aliran sungai dipenuhi dengan potensi bentrokan. Namun, menurut para peneliti di Oregon State University, dari 37 konflik militer soal air yang terjadi sejak tahun 1950, 32 terjadi di Timur Tengah; 30 di antaranya melibatkan Israel dan negara-negara Arab di dekatnya. Dan hampir semuanya tentang Sungai Yordan dan anak-anak sungainya, yang menyuplai air untuk minum, mandi, dan pertanian bagi jutaan orang.
!break!
Konfrontasi bersenjata memperebutkan Sungai Yordan dimulai sejak berdirinya Israel pada 1948 dan kesadaran bahwa sumber pasokan air yang diperlukan negara itu terletak di luar batas negaranya. Kelangsungan hidupnya tergantung pada Sungai Yordan yang berhulu di Suriah dan Lebanon, airnya yang tertampung di Danau Galilea, serta anak-anak sungai yang mengalir ke sana dari negara-negara tetangganya.
Tetangga Israel menghadapi situasi serupa. Kelangsungan hidup mereka juga dipertaruhkan—yang membuat batas antara perang dan damai di sini jadi sangat tipis. Pada 1960-an, serangan udara Israel setelah Suriah berusaha mengalihkan aliran Sungai Baniyas (salah satu hulu Sungai Yordan di Dataran Tinggi Golan), di samping serangan bangsa Arab terhadap Proyek Pengangkut Air Nasional Israel, menyulut Perang Enam Hari. Israel dan Yordania nyaris baku hantam gara-gara beting pasir di Sungai Yarmuk pada tahun 1979. Dan pada tahun 2002 Israel mengancam akan membom stasiun pompa pertanian di Hasbani, hulu yang lain di Lebanon selatan.
Tetapi, perang memperebutkan air juga menghasilkan dialog. "Tidak banyak sumber air besar yang tidak melintasi satu perbatasan politik atau lebih," kata Gidon Bromberg, salah satu direktur Friends of the Earth Middle East yang warga Israel. "Itu menciptakan saling ketergantungan alami antarnegara." Berbagi sumber daya benar-benar dapat menjadi jalan menuju perdamaian, ujar Bromberg, karena memaksa orang untuk bekerja sama. Pada 1970-an, misalnya, Yordania dan Israel menyepakati pembagian air bahkan ketika kedua negara itu resmi berperang. Dan kerja sama antara Israel dan Palestina mengenai air bahkan terus berjalan sementara proses perdamaian menemui jalan buntu.
"Sepertinya tidak masuk akal, tetapi masalah air jauh lebih penting daripada perang," kata Chuck Lawson, mantan pejabat AS yang menangani masalah air Israel-Palestina pada 1990-an. "Bagaimanapun situasi politik, orang perlu air, dan itu pendorong besar untuk menyelesaikan masalah."
!break!
Satu hari di bulan April lalu, Bromberg mengajakku ke mata air alami yang menyediakan air bagi Auja, sebuah desa Palestina berpenduduk 4.500 orang. Desa itu terletak di lereng bukit gundul beberapa kilometer sebelah barat Sungai Yordan tak jauh dari Yerikho. Mata air yang terisi oleh hujan musim dingin itu mengalir dari oasis kecil yang berbatu-batu. Kami berjalan di sepanjang palung beton sempit yang menyalurkan air ke desa itu yang berjarak beberapa kilometer. "Auja sepenuhnya bergantung pada air ini untuk pertanian," kata Bromberg. "Begitu mata air ini mengering, tak ada lagi air untuk bercocok tanam."
Bromberg, idealis dan politikus cerdas, lahir di Israel dan dibesarkan di Australia, lalu kembali ke Israel pada tahun 1988 untuk membantu membangun perdamaian di kawasan itu. Dengan menantang negaranya sendiri untuk berbagi air secara adil, Bromberg telah memancing reaksi dari politikus garis keras Israel. Mereka memandang air sebagai masalah keamanan nasional—dan sebagai sumber daya yang harus dipertahankan sekuat tenaga.
Sejak menduduki Tepi Barat pada tahun 1967, Israel telah membangun beberapa puluh permukiman di Lembah Yordan, di samping 120-an lagi di tempat lain di Tepi Barat. Suplai air bagi para pemukim disediakan oleh Mekorot, otoritas air nasional Israel, yang telah mengebor 42 sumur-dalam di Tepi Barat, terutama untuk memasok kota-kota Israel. (Menurut sebuah laporan Bank Dunia pada 2009, per kapita warga Israel menggunakan air empat kali lebih banyak daripada warga Palestina, dan sebagian besar untuk pertanian. Israel membantah hal ini, menyatakan bahwa warganya hanya menggunakan air dua kali lebih banyak dan menjaganya dengan lebih baik.) Yang mana pun yang benar, yang jelas permukiman Tepi Barat Israel mendapatkan cukup air untuk mengisi kolam renang, menyiram rumput di halaman, dan mengairi banyak ladang dan rumah kaca.
Sebaliknya, di bawah kekuasaan militer Israel, warga Palestina di Tepi Barat umumnya dilarang menggali sumur dalam. Akses air mereka terbatas pada sumur dangkal, mata air alami, dan curah hujan yang menguap dengan cepat di udara padang pasir yang kering. Ketika sumber-sumber ini kering di musim panas, ujar Bromberg, warga Palestina di Auja tak punya pilihan lain kecuali membeli air dari Israel sekitar tujuh ribu rupiah per meter kubik. Hal itu pada dasarnya membeli kembali air yang diambil dari dalam tanah mereka oleh Mekorot, yang juga menurunkan permukaan air tanah dan berdampak pada mata air dan sumur Palestina.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR