Ketika ditanya tentang mimpinya untuk masa depan, Coetzee berkata dia ingin menikah. Dia berkata, dia harus memberi tahu anak-istrinya nanti bahwa ia pembunuh.
!break!
Saat itulah Harris Sibeko menyela. "Dengar, sobat, kau harus menunggu sampai seorang anak sudah cukup besar untuk memahami hal yang kauberitahukan. Kalau tidak, anak itu akan membencimu." Sibeko menoleh kepada kelompoknya dan bertanya, "Apakah kalian merasa kita bisa menyebut pemuda ini pembunuh? Apa kira-kira sebutan yang lebih cocok untuknya?" Lalu, Sibeko menjawab pertanyaannya sendiri. "Menurut saya, Anda lebih tepat disebut operasi militer. Ya, itu lebih cocok."
Yang lain sepakat dengan Sibeko. Lalu, Sibeko bertanya kepada Coetzee apakah dia mendapat pengunjung di penjara. Coetzee menjawab, salah satu mantan tahanan kadang datang. Sibeko terkejut. "Tak ada keluargamu yang berkunjung?" Sibeko menjawab, "Tidak."
Wawancara itu berlangsung selama dua jam. Akhirnya, Olga Macingwane berdiri. Tidak seperti biasanya, dia harus melawan emosi. Ujarnya, "Stefaans, saat memandangmu, saya melihat putra saudara saya dalam dirimu, dan saya tak bisa membencimu." Dia mengulurkan tangan. "Kemarilah, Nak," katanya dalam bahasa Xhosa. Coetzee masuk ke pelukannya. "Saya memaafkanmu," kata Macingwane lembut. " Saya sudah mendengar ucapanmu, dan saya memaafkanmu."
Hukum
Pada hari itu Daniel Stephanus Coetzee menjadi satu-satunya di antara 120 tahanan politik, yang memenuhi syarat mendapat grasi presiden, yang bertemu dengan korbannya. Keesokan harinya, 10 November, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, dengan empat hakim baru yang diangkat oleh Presiden Zuma, bersidang. Agenda pertama adalah mendengar argumen tentang apakah presiden sebaiknya diperbolehkan memberi grasi kepada tahanan politik tanpa diadakan dengar pendapat bagi korbannya. Pengacara Zuma berargumen mendukung kuasa grasi tanpa batas. Pengacara yang mewakili salah seorang tahanan juga berargumen mendukung kuasa seperti itu. Tetapi, pengacara untuk kelompok hak asasi manusia mendesak bahwa penjahat politik tidak boleh diberi grasi sebelum korban dari kejahatannya didengar. (Pada 23 Februari 2010, mahkamah konstitusi memutuskan mendukung pihak korban.)
!break!
Dalam sidang itu hadir tiga puluhan korban kejahatan politik yang melibatkan sejumlah pelaku. Beberapa korban mengenakan kaus yang bertulisan, "Tak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran, perbaikan, dan ganti rugi."?Di antara mereka ada Olga Macingwane.
"Saya memaafkan dia, tapi tidak berarti saya mengampuni dia," kata Macingwane kepada saya sesudahnya. "Kami sekarang negara hukum. Kami negara yang menghormati suara dari semua warga. Hukum negara sayalah yang harus memutuskan apakah Stefaans diampuni. "
Sudah terlalu lama pemisahan dan kecurigaan dimandatkan oleh hukum Afrika Selatan. Sekarang undang-undang dasar negara menjunjung martabat dan kesetaraan semua orang, tetapi kekuasaannya hanya berlaku jika rakyatnya bersedia menegakkannya. Pada 23 Januari 2010—sebagaimana yang sudah lama dibayangkan oleh pendeta Deon Snyman—wakil dari kota Worcester dan kota Zwelethemba berkumpul di Gereja Reformasi Belanda di Worcester. Di taman luas yang rindang di seberang jalan terletak monumen kecil bagi empat orang yang tewas dalam pemboman 1996. Sidang dimulai dengan doa. Lalu, Macingwane dan Sibeko berbicara tentang perjalanan ke Pretoria, pertemuan dengan Coetzee, pemberian maaf mereka kepadanya. Pemulihan dibahas—di antaranya tentang karang taruna dan pusat lowongan kerja. Kelompok sepakat untuk mengundang Coetzee ke kebaktian gereja di Worcester jika diizinkan pihak berwenang penjara. Tanggal pertemuan selanjutnya ditetapkan. Olga Macingwane dipilih sebagai anggota panitia pengarah, yang mengawasi proses restitusi pada bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang.
"Ketika saya memaafkan Stefaans," kata Macingwane, "label 'korban' itu tidak lagi memiliki kekuasaan atas diri saya. Secara fisik, tentu saja nyeri itu akan selalu ada. Secara mental, saya akhirnya menemukan kedamaian. Saya bukan lagi Olga si korban. Sekarang saya Olga. Saya Ny. Olga Macingwane."
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR