Semua korbannya orang Kristen, demikian mereka meyakinkan saya. “Ini pasti terkait dengan usaha meng-Islam-kan bagian utara,” kata seorang pejabat. “Mereka ingin membasmi orang Kristen sebanyak mungkin.”
Di desa pertama yang saya kunjungi, saya bertemu satu keluarga. Mereka berkumpul di samping rumah mereka yang hangus dan tidak lagi beratap. Mereka ternyata muslim dari suku Fulani, dan berkata bahwa mereka diserang oleh perampok dari wilayah Atakar yang lain—orang Kristen, demikian anggapan mereka.
Ada yang mengatakan bahwa serangan itu karena alasan suku, ada pula yang menyebut bahwa sebabnya adalah agama. Di Nigeria Utara, selama puluhan tahun terjadi pembantaian akibat SARA. Pada 2002, karena ada wartawati yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad mungkin menjadikan salah satu peserta kontes ratu kecantikan sebagai istrinya, pecahlah kerusuhan yang menewaskan ratusan jiwa.
“Sulit membayangkan ini bukan pekerjaan Boko Haram,” kata seorang relawan kemanusiaan lokal kepada saya. Nadanya menunjukkan bahwa kehidupan di Nigeria utara begitu mencekam sehingga Boko Haram disalahkan atas semua kejadian. “Kami tidak memiliki informasi lain,” katanya, menjelaskan maksudnya, “jadi menurut kami itu semua adalah perbuatan Boko Haram.”
!break!
Nigeria memiliki kelas menengah terdidik, kota dengan industri makmur, serta pers yang gaduh, sekalipun tidak benar-benar bebas. Namun, sumber daya yang paling menguntungkan, sejak ditemukan pada 1950-an, adalah minyak mentah. Nigeria merupakan eksportir minyak terbesar kelima di dunia, namun hampir dua pertiga penduduknya melarat dengan penghasilan yang cuma pas-pasan untuk bertahan hidup.
Minyak menjadikan pemerintahan sebagai usaha bisnis terbasah di Nigeria. Dan karena minyak, alih-alih pajak, yang menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan negara, para politikus tidak perlu mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat. Tahun lalu, sebuah surat kabar memperkirakan bahwa sejak Presiden Jonathan menjabat tahun 2010, ada sekitar 341 triliun rupiah uang negara yang dikorupsi. “Sepanjang sejarah Nigeria, sering terjadi kegagalan pemerintah di semua tataran,” kata seorang diplomat Barat yang bekerja di sana.
Kegagalan ini terlihat di mana-mana, tetapi paling kentara di Kano, yang dahulu merupakan salah satu kota besar di Afrika dan di dunia Islam. Kano, jantung perdagangan di wilayah itu sejak zaman dahulu, menjadi pusat industri dan pertanian. Pengaturan itu sangat menguntungkannya, sehingga Emir Kano menentang kemerdekaan Nigeria yang diperoleh pada 1960. Setengah abad kemudian, sekitar setengah warga Nigeria adalah penganut Islam, sebagian besar tinggal di utara.
Bintang Kano mulai meredup pada 1970-an, dan seiring hal tersebut, kurangnya pembangunan—dan ketiadaan minyak di utara—semakin terlihat. Statistik saat ini meresahkan: Lebih dari separuh balita di Nigeria utara terhambat pertumbuhannya karena kekurangan gizi. Di timur laut, tempat munculnya Boko Haram, hanya satu dari empat rumah yang memiliki akses listrik, sementara hanya 23 persen perempuan yang bisa membaca.
Pada 1980-an, 1990-an, dan terulang lagi pada awal 2000-an, terjadi konflik SARA yang menewaskan ribuan orang. Kemudian muncul Boko Haram. Kini, Kano terlihat seperti benteng tua nan suram. Saat mendekati kota ini, kita akan melihat pos pemeriksaan setiap beberapa ratus meter. Di kantor polisi, satu-satunya peringatan yang ada, dibuat dengan cat semprot di dinding luar, memerintahkan, “Jangan Kencing di Sini.”
Kekuasaan Kano yang sebenarnya tersembunyi di tengah kota. Di balik tembok tinggi di pusat kota terdapat kompleks pemerintahan negara bagian yang luas. Di kantornya di sana, sang gubernur, Rabiu Kwankwaso, menyambut saya. “Saya yakin seratus persen bahwa suatu hari nanti Nigeria pasti dapat mengalahkan kelompok itu,” kata Kwankwaso kepada saya mengenai Boko Haram.
“Adapun caranya, sulit untuk diketahui saat ini.” Trio asistennya mengangguk-angguk. “Ini waktu yang tepat untuk mendengarkan masukan dari semua pihak, termasuk yang bodoh sekalipun, untuk mengetahui pemikiran mereka, karena kami belum mendapat pemecahannya.”
Kekerasan masih membayangi di mana-mana. Selama saya berada di Kano, hampir setiap hari ada berita tentang penembakan dan serangkaian pemboman yang gagal, salah satunya mengincar istana. Pada hari Minggu pagi, polisi memarkir truk meriam-air di luar gereja, dan pengkhotbah di dalamnya membahas “perang Tuhan” menghadapi Boko Haram. Sementara itu, di masjid tidak jauh dari situ, khatib mengutuk “perang terhadap Islam” yang dilancarkan Goodluck Jonathan.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR