Sayangnya, sesukses apa pun perkawinannya, mustahil populasi kerapu kembali seperti sebelumnya. Koenig menyatakan, kandungan air raksa dalam air laut menyebabkan “dampak beracun tersembunyi. Ikan dewasa mengidap patologi nyata—lesi di hati—akibat tingginya kadar air raksa,” terangnya. Berarti, selain kemungkinan turut menurunkan jumlah ikan, ini membuatnya tidak aman disantap. “Apa mau dikata, semua tangkapan sepanjang lebih dari satu meter,” kata Don DeMaria, mantan nelayan komersial yang kini membantu upaya konservasi, “terpaksa kami buang.”
Masa depan kerapu juga bergantung pada hutan bakau, tempat ikan ini hidup di antara akar pohon sampai berusia sekitar lima tahun. Pembangunan pesisir, pertanian, dan pencemaran mengancam habitat perairan dangkal itu.
Pada akhirnya, baik nelayan maupun ahli biologi, dan bahkan pejabat pemerintah, menginginkan hal yang sama: populasi kerapu yang cukup besar dan kuat untuk mendatangkan penyelam dan pemancing, tanpa menghancurkan populasinya. Sementara perdebatan berlanjut, sang kerapu terus berdebum di negeri bawah air. Ikan besar ini juga ingin didengar suaranya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR