Pada 1998, Fell membawa kesuksesannya di Hammelburg ke Bundestag. Partai Hijau membentuk koalisi pemerintahan dengan Sosial Demokrat (SPD). Fell bekerja sama dengan Hermann Scheer, advokat ternama di bidang energi surya dari SPD, untuk merancang undang-undang yang pada 2000 membawa eksperimen Hammelburg ke seluruh negeri dan ditiru di seluruh dunia. Tarif penyaluran listrik dijamin hingga 20 tahun, dengan nominal tinggi.
“Prinsip dasar saya,” kata Fell, “adalah bayaran harus sangat tinggi agar investor mendapatkan untung. Bagaimanapun, kita hidup di pasar ekonomi. Ini logis.”
“Bahwa akibatnya bisa sebesar ini—saya tidak percaya ketika itu,” ujar peternak sapi Wendelin Einsiedler. Di luar ruang berjemurnya, yang menghadap ke Pegunungan Alpen, sembilan turbin angin berputar lambat di punggungan gunung, di belakang kandang sapi.
Einsiedler memulai energiewende pribadinya pada 1990an dengan satu turbin dan mesin fermentasi untuk menghasilkan gas metana dari kotoran ternak. Dia dan saudaranya, Ignaz, membakar metana di dalam kogenerator berkekuatan 28 kilowatt, menghasilkan panas dan listrik untuk peternakan mereka.
Saat ini mereka memiliki lima mesin fermentasi, yang memproses silase jagung selain kotoran ternak dari delapan peternakan sapi, dan menyalurkan biogas yang dihasilkan sejauh lima kilometer ke Desa Wildpoldsried. “Ini prinsip luar biasa, dan ini menghemat CO2 dalam jumlah besar,” kata Wali Kota Arno Zengerle menjelaskan.
Biogas, panel surya yang melapisi banyak atap, dan terutama turbin angin memungkinkan Wildpoldsried memproduksi listrik hampir lima kali lipat daripada yang dibutuhkan. Einsiedler mengelola turbin. Turbin angin menjadi tambahan dramatis dan terkadang kontroversial di lanskap Jerman. Namun, saat orang-orang bisa mendapatkan uang, kata Einsiedler, sikap mereka berubah.
Tidak sulit untuk membujuk para peternak dan pemilik rumah untuk memasang panel surya di atap mereka; tarif penyaluran listrik, yakni 50 sen per satu kilowatt-jam ketika proyek ini dimulai pada 2000, adalah harga yang bagus. Di puncak ledakan, pada 2012, panel PV berkekuatan 7,6 gigawatt dipasang di Jerman hanya dalam setahun—setara, jika matahari bersinar, dengan tujuh pembangkit listrik tenaga nuklir.
Undang-undang hasil pemikiran Fell, ketika itu, membantu menurunkan biaya tenaga surya dan angin, menjadikan harganya kompetitif dengan bahan bakar fosil di banyak wilayah. Salah satu tandanya: tarif fasilitas tenaga surya berskala besar baru di Jerman telah jatuh dari harga 50 sen euro per kilowatt-jam menjadi kurang dari 10. “Kami telah menciptakan situasi yang benar-benar baru dalam waktu 15 tahun—ini kesuksesan luar biasa undang-undang energi terbarukan,” kata Fell.
Pada pemilu 2013 Fell kehilangan kursi di Bundestag. Dia sudah kembali ke Hammelburg, namun dia tidak harus melihat asap yang mengepul dari Grafenrheinfeld lagi: Juni lalu, reaktor itu menjadi yang terakhir ditutup. Tidak seorang pun, bahkan para pelaku industri, berpikir nuklir akan kembali digunakan.
Jerman memperoleh 44 persen listriknya dari batu bara tahun lalu—18 persen dari batu bara keras, yang sebagian besar merupakan hasil impor, dan sekitar 26 persen dari lignit, atau batu bara muda. Penggunaan batu bara keras telah jauh berkurang sejak dua dekade silam, namun lain halnya dengan penggunaan lignit. Itulah alasan utama mengapa Jerman belum siap memenuhi target emisi gas rumah kacanya pada 2020.
Jerman adalah produsen lignit terdepan di dunia. Lignit mengeluarkan emisi CO2 jauh lebih banyak daripada batu bara keras, namun harganya paling murah di antara bahan bakar fosil lainnya—lebih murah dari batu bara keras, yang lebih murah dari gas alam. Idealnya, untuk mengurangi emisi, Jerman seharusnya menggantikan lignit dengan gas. Namun sementara energi terbarukan membanjiri jaringan listrik, hal lain terjadi: Di pasar grosir, tempat kontrak jual beli listrik dijalankan, harga listrik anjlok, sehingga pembangkit listrik tenaga gas dan terkadang bahkan pembangkit listrik yang membakar batu bara keras terlempar dari pasar. Pembangkit-pembangkit listrik tua yang menggunakan lignit terus bekerja dengan kekuatan penuh, 24/7, sementara pembangkit-pembangkit listrik modern yang menggunakan gas, dengan emisi yang hanya setengahnya, justru menganggur.
“Tentu saja kami harus mencari jalan untuk menyingkirkan batu bara—ini sangat jelas,” kata Jochen Flasbarth, sekretaris negara di kementrian lingkungan hidup. “Namun ini cukup sulit. Kami bukan negara yang sangat kaya sumber daya, dan satu-satunya sumber daya yang kami miliki adalah lignit.”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR