Jika Amerika Serikat yang sebagian negara bagiannya melarang penelitian narkotika untuk keperluan medis, tak demikian hal-nya dengan Indonesia. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 35 yang disahkan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009.
"Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri." Demikian hal yang termaktub dalam bagian Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pasal 13.
Undang-undang inilah yang dilihat sebagai celah oleh Musri Musman, ahli kimia bahan alam dari Universitas Syiah Kuala, Aceh. Yayasan Sativa Nusantara, tempat Musri bernaung sebagai peneliti utama, pada awal 2015 akhirnya mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan untuk meneliti kegunaan ganja dalam bidang medis.
Musri hendak mengisolasi struktur kimia kanabidinol (CBD), untuk mengobati penyakit diabetes, pembunuh nomor empat di Indonesia.
Melalui surel, Nagiot Cansalony Tambunan, Kabid informasi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kemenkes, di Tawangmangu, Jawa Tengah, menyatakan, “saat ini sesuai izin BNN dan Kemenkes, kami baru mengoleksi tanaman ganja (Cannabis sativa).” Dari tempat inilah bahan penelitian Musri akan diperoleh.
Selama ini, izin penelitian amat sulit diperoleh, kerap membuat peneliti geregetan. “Bahkan, hingga kini kita tidak tahu pasti ada berapa spesies ganja di Aceh,” ungkapnya. Kini, ia berharap hasil penelitiannya akan sangat berguna bagi masyarakat.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR