Untuk menghadapi perburuan yang amat serakah ini, Afrika Selatan memperketat peraturan berburu, dengan cara membatasi pemburu hanya satu badak per tahun, mewajibkan kehadiran pejabat pemerintah untuk menjadi saksi perburuan, dan menolak izin bagi pemburu dari Vietnam. Cula dari setiap badak yang diburu harus dipasangi mikrocip dan ciri-ciri DNA-nya dicatat dalam Rhino DNA Index System di Veterinary Genetics Laboratory di University of Pretoria.
Meski demikian, perdagangan cula badak tetap berlanjut. Ada satu titik lemah lain dalam larangan internasional cula badak yang tidak dapat ditangani oleh CITES: Penjualan cula badak di dalam Afrika Selatan sendiri legal. Namun, pada 2008 Marthinus van Schalkwyk, menteri urusan lingkungan dan pariwisata, mengumumkan moratorium terhadap kebijakan itu demi “meredam peningkatan perdagangan ilegal cula badak” dan “mudah-mudahan mengurangi pemburuan liar.” Pada Februari 2009, larangan penjualan dalam negeri cula badak mulai berlaku.
Baik Groenewald dan John Hume berpendapat bahwa membiakkan badak untuk memanen cula lalu menjualnya secara legal akan mengurangi pemburuan liar. Tetapi Allison Thomson, direktur Outraged South African Citizens Against Poaching, organisasi anti-legalisasi terkemuka, tidak sepakat. “Badan penegak hukum kami sudah kewalahan menangani hampir seribu penangkapan pada 2015 dan hanya 61 vonis bersalah. Kalau ditambah harus memantau perdagangan legal, penegakan hukum akan hampir mustahil dilakukan, sehingga sindikat jahat dapat kembali memperdagangkan cula lebih banyak ke pasar gelap internasional.”
Afrika Selatan menjadi tuan rumah pertemuan CITES tiga-tahunan di Johannesburg pada September 2016. Pada 1997 Afrika Selatan mengusulkan pencabutan larangan CITES terhadap perdagangan internasional cula badak, bergembar-gembor bahwa sistem hukumnya mampu mengontrol perdagangan, yang “akan menekan harga dan kegiatan pasar gelap.” Namun, upaya itu gagal.
Sejarah menunjukkan bahwa mencabut larangan dagang tanpa kontrol yang memadai terhadap kejahatan dan korupsi bisa berakibat fatal. Pada 2007 peserta CITES membekukan larangan internasional terhadap perdagangan gading gajah dan mengizinkan empat negara—Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe—menjual 115 ton ke Tiongkok dan Jepang. Penjualan itu, yang berlangsung tahun berikutnya, dirancang untuk membanjiri pasar gading Asia dan mendesak pedagang gelap. Namun, ini malah memberi sinyal bahwa pasar gading sudah buka lagi, mendorong pemburuan liar gajah besar-besaran di seluruh Afrika—lebih dari 30.000 gajah per tahun antara 2010 dan 2012 saja—yang masih berlanjut hingga kini.
Ada spekulasi bahwa Afrika Selatan, karena didorong oleh industri peternakannya, mungkin akan mengusulkan lagi pencabutan larangan CITES terhadap perdagangan internasional cula badak. “Kami sudah berdaya upaya [untuk menghentikan pemburuan liar], dan mengerjakan hal yang sama setiap hari yang ternyata tidak ada manfaatnya,” kata menteri urusan lingkungan Afrika Selatan, Edna Molewa, kepada Mail & Guardian di pertemuan CITES di Bangkok pada 2013. Ternyata, pada bulan Mei Afrika Selatan mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengusulkan pencabutan larangan, dengan alasan perlu bukti bahwa perdagangan akan menolong badak liar, memperluas wilayah hidup badak, dan mengatasi korupsi serta tantangan di negara lain yang dihuni badak. Tetapi kemudian Swaziland, negara mungil yang jumlah badaknya tidak sampai 100 ekor dan yang dikelilingi hampir seluruhnya oleh Afrika Selatan, mengajukan usul untuk mencabut larangan tersebut.
Pembantaian di Prachtig
Dawie Groenewald mengantar kami ke meja makan panjang di pondok utama di peternakan pembiakan hewan buruan eksotis miliknya. Lahan yang bernama Mataka ini memiliki ukuran lebih kecil di antara kedua lahan miliknya—750 hektare dan terletak 200 kilometer di selatan Prachtig. Di luar dia memiliki dua helikopter berkilap, satu istal kuda arab, dan berhektare-hektare hewan buruan eksotis mahal yang akan ditunjukkannya kepada saya nanti, termasuk badak.
Groenewald memulai Mataka pada 2012, dua tahun setelah dia ditangkap, tetapi dia tidak menghentikan operasi perburuan di Prachtig. Dia mendirikan usaha baru, Wild Africa Hunting Safaris, yang menggantikan usahanya sebelumnya, Out of Africa Adventurous Safaris. Groenewald jelas yakin akan menang di pengadilan di Afrika Selatan dan Amerika Serikat. Dan keyakinannya itu beralasan: Kasus pidananya di Afrika Selatan dibekukan dengan adanya gugatan perdata yang diajukan oleh peternak hewan buruan bernama Johan Krüger, yang tinggal di dekat Groenewald. Gugatan itu memohon pengujian konstitusional atas larangan perdagangan cula badak di Afrika Selatan, juga atas sebagian besar pidana terkait-badak lainnya yang dituduhkan kepada Groenewald.
Krüger, yang tidak terlibat dalam pidana yang didakwakan kepada Groenewald, bukan pemohon yang sebenarnya, kata Groenewald, dan bukan pula orang yang membayar biaya perkaranya. “Itu saya,” tambahnya dengan tegas. National Geographic tidak berhasil menghubungi Krüger, tetapi ada alasan untuk memercayai perkataan Groenewald. Dia dan Krüger pernah berbisnis kerbau bersama; mereka berburu bersama; foto Krüger terpampang di dalam brosur berburu Groenewald; dan pengacara Krüger juga pengacara Groenewald.
Dakwaan terhadap Groenewald di Afrika Selatan berakar dari penggerebekan Prachtig pada September 2010 oleh Directorate for Priority Crime Investigation Afrika Selatan, yaitu unit polisi elite yang dijuluki Hawks atau para Elang. Markus Hofmeyr, manajer jasa dokter hewan untuk Taman Nasional Afrika Selatan, yang mengelola Taman Nasional Kruger, adalah anggota tim spesialis forensik yang didatangkan pada hari itu untuk membius badak Groenewald serta mengambil sampel jaringan dan darah. Timnya menemukan 29 badak hidup dan menembak 26 di antaranya dengan panah bius.
Hofmeyr menyerahkan surat pernyataan tersumpah yang menuturkan apa yang dilihatnya di Prachtig: “Semua badak yang kami tembak, culanya pernah diambil, beberapa sampai ke titik tumbuhnya. Cula pada beberapa badak itu jelas dipotong dengan gergaji mesin atau alat serupa itu.” Memotong cula terlalu dekat ke titik tumbuhnya dapat menyebabkan perdarahan dan, menurut dokter hewan, menyakitkan bagi badaknya. Hofmeyr menduga bahwa beberapa cula diambil “dengan menusukkan pisau dan memisahkan area pelekatan cula dari dasar tengkorak atau dengan mengerahkan tenaga besar dan mencabut culanya dari dasar.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR