Peternakan di kampung Merak bahkan menjadi sentra sapi lokal Kabupaten Situbondo. Setiap pagi, ribuan sapi beranjak merumput ke sabana taman nasional. Kandang-kandang sapi berjajar di depan rumah sang pemilik, berbatasan dengan pantai utara Jawa. Sayangnya, permukiman di Merak (lihat peta) dan sekitarnya mengisyaratkan benturan antara pelestarian dengan kebutuhan masyarakat.
Nyanyi Sunyi Bilik-Sijile
Beberapa hari saya mengikuti para penggembala menggiring sapi dari Merak ke padang rumput. Kala hari merembang petang, saya bersama Yunaidi menyelinap ke dalam ketenangan pantai utara Baluran.
Di sisi barat kampung Merak, kesunyian mengendap di pesisir Bilik-Sijile (lihat peta). Riak air menepuk-nepuk pantai berpasir. Bilik-Sijile adalah hamparan pantai di Selat Madura yang dihubungkan sepotong tanjung dengan Pulau Jawa. Daratan yang seperti hendak menyempal dari Pulau Jawa ini membentuk dua cekungan teluk yang tenang.
Tanjung ini bertengger di perairan dangkal Selat Madura. Setelah dangkalan tanjung, dasar laut turun terjal. Swiss Winasis menuturkan dasar laut di ujung tanjung berkontur curam. “Sering dihantam ombak besar,” katanya.
Pegunungan Baluran yang patah terlihat menjulang 1.247 meter. Angin di langit sebelah barat gugusan gunung Baluran memutar awan membentuk tudung mendung. Di puncak mendung, awan menyebar ke segala arah menutupi matahari senja. Hanya beberapa detik saya bersua dengan mentari jingga saat mega tersingkap.
Kendati tanpa semarak senja, kemurnian Bilik-Sijile menampilkan sisi lain keindahan Baluran. Alam membentang sempurna, sunyi dan tenang.
Di belakang kerumunan pohon mangrove, pucuk-pucuk pohon gebang menjulang di sabana. Lengkingan burung merak membahana dari padang rumput. Burung-burung cabak yang biasa hidup di malam hari mulai beraktivitas.
Bilik-Sijile memang belum banyak dikunjungi wisatawan. Pesisir ini dapat dicapai dengan perahu dari pantai Bama selama 2 jam. Pengunjung bisa menyewa perahu untuk pengarungan bolak-balik.
Mimpi Baik Satu Persen
Pada haribaan padang Bekol kami kembali. Musik dangdut berdentam dari teras barak polisi hutan pada sore itu. Di situ, Joko Laswiyanto berleha-leha. Pemuda yang mengelola penangkaran banteng di Baluran itu mendadak mematikan musik, bergegas melesat dengan sepeda motornya. Duduk di bawah pohon rindang, pikiran saya mengembara: tanpa harapan mengamati banteng jawa.
Tergopoh-gopoh, Joko menghampiri saya. “Ada banteng melintas. Cepat-cepat dipotret sebelum lari,” tuturnya. Saya ragu-ragu. Saya tidak percaya. Joko membaca keraguan saya.
“Tadi saya mengecek apakah benar-benar banteng. Saya sendiri baru melihat banteng liar,” ungkapnya meyakinkan saya. Dia menyodorkan telepon genggamnya: foto banteng jantan! Foto itu menyentil kesigapan saya. Saya berteriak mencari-cari Yunaidi, yang tengah menyejukkan diri di menara pengamatan.
Bersama Joko, Yunaidi memotret pejantan berbadan dempak itu. Kami berpacu dengan waktu. Hanya beberapa menit, banteng itu mampir ke kubangan di tengah padang Bekol. Itulah mimpi baik bernilai satu persen—saya ingat penuturan Swiss. Empat turis asing datang terlambat beberapa menit. Mereka hanya bisa menyaksikan si banteng dari layar kamera Yunaidi.
Balai Taman Nasional Baluran sedang berikhtiar mengembalikan kejayaan padang Bekol dan populasi banteng. Dekat dengan barak polisi hutan, di kandang alami seluas 0,8 hektare, hidup enam banteng: tiga induk dan tiga anak. Satu banteng jantan dewasa bernama Doni; dua betina dewasa: Tina dan Usi. Banteng tangkaran itu kelak dilepas dan bergabung dengan banteng liar.
Rintik hujan pertama mengguyur hutan musim. Bau tanah yang basah memenuhi udara. Air hujan membasahi ranting dan cabang yang kering, berpendar berkilauan tertimpa sinar mentari. Rona alam Baluran begitu kontras: menguning saat kemarau, semarak hijau kala hujan.
Musim kemarau ini, saya baru separo menyaksikan warna alam padang terluas di ujung timur Jawa itu. Kelak, saya akan menyempurnakannya: bertandang pada musim penghujan.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR