Krisis nuklir Jepang masih berlangsung hingga saat ini. Kantor berita Kyodo melaporkan, asap dan uap pun terlihat membumbung lagi, Selasa (22/3).
Peristiwa tersebut memicu negara lain yang telah menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) maupun yang berencana membangun PLTN, untuk melakukan evaluasi. Di Indonesia sendiri, perdebatan mengenai perlu-tidaknya rencana pembangunan PLTN dilanjutkan sedang jadi topik hangat.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi di PLTN Fukushima Daiichi, Jepang? Apakah peristiwa tersebut menunjukkan bahwa PLTN adalah "proyek gagal" yang harus ditolak pembangunannya?
Artikel ini kami sajikan untuk memberi pemahaman dan membuka wawasan mengenai situasi di PLTN Fukushima Daiichi. Agar Anda, para pembaca setia situs ini, memiliki pengetahuan yang cukup saat sedang mengikuti berita yang berkaitan dengan krisis nuklir di Jepang.
Reaksi Fisi Menjadi Listrik
PLTN Fukushima Daiichi adalah salah satu dari 55 reaktor nuklir yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik di Jepang. PLTN yang berada di Distrik Fukaba, Prefektur Fukushima ini menggunakan enam unit boiling water reactor (BWR) yang mampu menghasilkan total daya sebesar 4,7 gigawatt--inilah yang menjadikan Fukushima salah satu dari 15 PLTN dengan daya terbesar di dunia.
BWR merupakan tipe reaktor terbanyak kedua yang digunakan di seluruh dunia. Sebuah reaktor BWR terdiri atas ribuan batang bahan bakar berbentuk tabung serupa sedotan dengan panjang sekitar 3,6 meter. Pada PLTN Fukushima Daiichi, batang bahan bakar yang digunakan terbuat dari bahan campuran zirkonium. Di dalam batang bahan bakar itulah tersimpan bahan bakar sebenarnya yang berupa butiran uranium oksida.
Semua batang bahan bakar itu diikat bersama dalam sebuah inti reaktor. Selama reaksi fisi nuklir terjadi, temperatur batang bahan bakar meningkat hingga mencapai suhu ekstrem. Oleh karena itu, batang bahan bakar tersebut direndam dalam air yang didemineralisasi, mencegahnya agar tidak meleleh dan menyebarkan bahan radioaktif. Air yang digunakan ditempatkan dalam sebuah bejana penahan bertekanan yang terbuat dari baja sehingga mampu menjaga titik didih pada 287,7 derajat Celsius.
Temperatur batang bahan bakar masih sangat tinggi akibat reaksi fisi nuklir yang terus terjadi. Temperatur yang sangat tinggi ini menghasilkan uap bertekanan tinggi dalam jumlah besar. Uap inilah yang kemudian digunakan untuk memutar turbin pada dinamo sehingga dapat menghasilkan energi listrik.
Seluruh PLTN yang beroperasi terikat pada standar standar keamanan yang sangat ketat. Bukan hanya karena menghasilkan panas yang sangat tinggi, tapi juga penggunaan materi radiokatif dan juga menghasilkan limbah radioaktif.
Oleh karena itu, selain menggunakan air untuk mendinginkan reaktor (yang didukung generator diesel sebagai cadangan), konstruksi reaktor pun sangat diperhatikan. Inti reaktor, batang bahan bakar dan air pendingin dibungkus dalam bejana pelindung yang terbuat dari baja. Bejana ini pun dibungkus lagi oleh sebuah selubung baja yang diperkuat yang dirancang untuk mencegah terlepasnya gas radiokatif ke udara.
Selain itu, PLTN Fukushima Daiichi dan PLTN sejenis lainnya juga memiliki sistem untuk menonaktifkan reaksi fisi nuklir dalam inti reaktor. Sistem tersebut berupa batang kontrol yang berfungsi untuk membatasi reaksi fisi yang terjadi dengan menyerap neutron yang bergerak bebas. Dengan memasukkan atau mengeluarkan batang kontrol itu ke dalam inti reaktor, tingkat reaksi fisi bisa dikendalikan, bahkan dihentikan.
Saat gempa terjadi, sistem itu berjalan dengan baik di reaktor Fukushima dan segera menonaktifkan reaksi fisi. Namun, meski reaksi fisi telah berhenti, temperatur batang bahan bakar masih sangat tinggi sehingga tetap membutuhkan pendinginan terus-menerus.
Masalah mulai muncul ketika tsunami menerjang kompleks PLTN Fukushima Daiichi. Sistem pendinginan cadangan yang menggunakan generator diesel--yang sebelumnya berfungsi dengan baik setelah PLTN padam--menjadi tidak berfungsi setelah dirusak tsunami. Akibatnya, reaktor yang masih sangat panas itu temperaturnya semakin tidak terkendali.
Tokyo Electric power Company (TEPCO), perusahaan yang mengoperasikan PLTN Fukushima, terpaksa mendinginkan inti reaktor menggunakan air laut yang dicampur dengan asam borat. Asam borat digunakan untuk mencegah terjadinya kembali reaksi fisi sebagai akibat dari melelehnya bahan bakar.
Sayangnya, langkah tersebut merupakan opsi terakhir yang bisa dilakukan karena air laut yang bersifat korosif dapat merusak komponen mesin reaktor. Selain itu, sebelum sistem pendingin kembali mendapat pasokan listrik dan berfungsi seperti semula, TEPCO harus memompa ribuan galon air laut ke dalam inti setiap hari selama berminggu-minggu atau bahkan setahun.
Lelehan yang Ditakutkan
Tidak ada definisi mutlak mengenai definisi "meleleh" itu sendiri sehingga penggunaan istilah ini kerap tidak berguna untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan istilah "meleleh seluruhnya" dan "meleleh sebagian" pun tidak banyak membantu memahami apa yang sedang terjadi.
Saat batang bahan bakar sudah tidak terlindungi cairan pendingin, temperaturnya meningkat tajam hingga mencapai ribuan derajat Celsius. Kemudian, batang-batang tersebut mulai mengalami oksidasi dan berkarat. Proses oksidasi ini melibatkan air yang tersisa sehingga menimbulkan reaksi yang menghasilkan gas hidrogen yang mudah meledak.
Gas hidrogen tersebut dapat dilepaskan secara perlahan ke dalam bangunan penahan yang terbuat dari beton. Namun, jika waktu yang diperlukan untuk melepaskannya tidak cukup, akan terjadi ledakan. Inilah yang terjadi pada reaktor-reaktor PLTN Fukushima yang sudah meledak. Yang perlu digarisbawahi, ledakan itu bukan berasal dari reaksi nuklir melainkan ledakan kimia.
Istilah "meleleh" yang kerap digunakan biasanya merujuk pada kondisi setelah ledakan hidrogen. Kejadian meleleh seluruhnya merupakan skenario terburuk. Kondisi itu menggambarkan batang bahan bakar campuran zirkonium dan bahan bakar yang terdapat di dalamnya, beserta seluruh komponen mesin yang terdapat dalam inti nuklir akan meleleh menjadi material serupa lava yang disebut corium.
Corium adalah materi yang sangat berbahaya. Ia dapat menembus bangunan beton pengaman karena suhunya yang luar biasa panas ditambah kekuatan kimianya. Dan ketika materi nuklir itu bercampur kembali, reaksi fisi kembali akan terjadi dalam tingkat yang tidak terkontrol. Kebocoran pada bejana pelindung inilah yang bisa menyebabkan terjadinya bencana seperti di Chernobyl.
Meski demikian, kejadian meleleh seluruhnya merupakan hasil akhir dari rentetan peristiwa lain yang berupa ledakan, kebakaran, dan kerusakan lainnya. Bahkan di Chernobyl, yang setelah diteliti ternyata tidak memiliki bangunan pelindung sama sekali, bencana PLTN terjadi karena ledakan dan kebakaran grafit yang menyebabkan corium terlepas ke luar, bukan karena inti nuklir meleleh secara fisik.
Kondisi yang terjadi di PLTN Fukushima Daiichi saat ini memang masih kritis dan jauh dari aman. Namun, dengan segala upaya yang dilakukan TEPCO bersama pemerintah Jepang, kita berharap keadaan dapat segera dikendalikan sehingga bencana yang terburuk dapat dihindari.
PROMOTED CONTENT
REKOMENDASI HARI INI
Benarkah Karakter Kakamora dalam Film Moana Terkait dengan 'Hobbit' di Flores?
KOMENTAR