Fenomena mudik terjadi ketika Indonesia mengalami industrialisasi besar-besaran beberapa kota besar, khususnya Jakarta. Menurut sosiolog Bambang Kusumo,
industrialisasi pada tahun 1960 hingga 1980 menyebabkan migrasi besar-besaran
dari desa ke kota. Di sinilah terjadi perubahan masyarakat agraris menjadi
industri atau masyarakat desa menjadi urban.
"Mudik menjadi peristiwa yang sangat ditunggu karena manusia tidak bisa
lepas dari asal usulnya. Meski secara ekonomi bekerja di sektor
industri, namun secara kultural ada di sektor agraris," papar Bambang
ketika ditemui di kantornya, Kamis (25/8). Secara sosiologis, ketika orang melakukan migrasi, orang akan kehilangan
akar dan solidaritas yang berbasis ketetanggan. Ketika mudik inilah,
berbagai peran dan pemaknaan sosial diperoleh kembali setelah pemudik
menjadi sebuah individu.
Nilai sosial,kultural, religius, dan politik akhirnya melekat ketika
proses mudik berlangsung. Solidaritas sosial dengan keluarga dan
masyarakat akan terjalin kembali. Bahkan, nilai politik bisa tercipta,
seperti yang terjadi Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, bahwa ikatan
pemudik bisa berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah.
"Mudik mengembalikan martabat seseorang yang telah menjadi buruh di kota
besar. Ada status sosial baru bahwa mereka dinilai lebih sukses
ketimbang warga lain," papar Bambang yang juga pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Peristiwa mudik pun akhirnya makin dilegitimasi oleh peran agama. Menurut
Bambang, mudik adalah sebuah pengalaman ritual seseorang, dari puasa 30
hari diikuti penderitaan perjalanan mudik hingga bertemu keluarga.
Proses panjang ini akhirnya mencapai kemenangan saat Idul Fitri, ketika orang akan mengalami titik nol atau menjadi manusia baru kembali.
Seiring berjalannya waktu, tren mudik pun kian berubah. Dulu, unsur berkumpul bersama tetangga menjadi lebih dominan. Namun sekarang, unsur keluarga besar
lebih dinomorsatukan. "Tren mudik dipengaruhi banyak faktor seperti perubahan di desa serta
transisi komunitas menjadi keluarga besar. Bisa terjadi pula, trend
mudik hanya terbatas pada keluarga inti," ungkap Bambang.
Sementara itu, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Paschalis Maria Laksono, menambahkan, mudik adalah puncak kontraksi dari semua sektor di
Indonesia,baik sektor ekonomi, sosial, transportasi, budaya, hingga
politik. "Ada proses pemuliaan pasar ketika mudik. Semua sektor diperhatikan
dengan serius sebagai upaya untuk menyambut sebuah kemenangan," katanya.
Tak sebatas pada perayaan kegembiraan saja,lanjutnya, arti penting mudik
justru terletak pada tindakan seseorang untuk memenuhi hasrat diri
dalam berkomunikasi serta menunjukkan siapa dirinya. "Masa lalu menjadi sulit dilupakan karena seseorang hidup dari masa lalunya," tambahnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR