90 persen dari keseluruhan produksi sampah di Indonesia belum mengalami proses daur ulang. Budaya membuang sampah secara sembarangan menjadi kendala percepatan proses daur ulang. Padahal, proses daur ulang sampah bisa memiliki nilai ekonomi. Sampah yang sudah dimanfaatkan menjadi barang bernilai ekonomi hanya sekitar lima hingga 10 persen.
"Contohnya daur ulang sampah plastik, kaleng, dan kertas melalui bank sampah," kata Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup Hermin Rosita di sela-sela konferensi Asia Pasific Roundtable for Sustainable Consumption and Production (APRSCP) ke-10 di Yogyakarta, Rabu (9/11) lalu.
Hermin melanjutkan, setiap hari produksi sampah di kawasan metropolitan mencapai 2.000 hingga 6.000 ton. Sedangkan, kota-kota besar menurutnya memproduksi sebanyak 1.000 hingga 3.000 ton sampah per hari dengan produksi terbesar sampah rumah tangga.
Menurutnya, sedikitnya jumlah sampah yang didaur ulang dipengaruhi pola hidup masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihaan lingkungan. Namun masyarakat belum memperhatikan nilai sampah untuk kepentingan jangka panjang.
"Sampah rumah tangga punya nilai ekonomi yang tinggi jika diolah dengan baik. Namun, masyarakat cenderung langsung membuang sampah basah dan kering yang dicampur," paparnya.
Untuk memulai membiasakan budaya pengelolaan sampah yang baik dan benar, lingkungan rumah tangga menjadi lingkungan awal untuk belajar. Caranya, dengan memanfaatkan makanan sisa konsumsi untuk kebutuhan pupuk kompos yang bisa menyuburkan tanamanan. Selain itu, masyarakat bisa mengelompokkan sampah basah dan kering agar memiliki nilai ekonomi. Sampah kering dan basah bisa dijual ke bank sampah.
"Pemerintah Indonesia menargetkan proses daur ulang sampah sebanyak 30 persen dari sampah yang diproduksi per hari dalam lima hingga 10 tahun mendatang. Melalui program Indonesia bersih pola pikir masyarakat perlu diubah untuk memanfaatkan sampah," tegas Hermin.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR