Pendekatan budaya dinilai menjadi pendekatan penting untuk mewujudkan sebuah kota yang layak pejalan kaki. Sebab, pendekatan ini lebih menekankan komunikasi dalam masyarakat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut.
Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Program Walkability Walhi Yogyakarta, Ichal Rais, ketika menanggapi buruknya fasilitas untuk pejalan kaki di Kota Pelajar itu. Ia mengatakan, bahwa ruang publik yang ada di masyarakat, seperti trotoar, makin tidak mengakomodasi kepentingan-kepentingan publik. Justru saat ini, kepentingan ekonomi justru menjadi kepentingan utama yang melanggar kepentingan publik.
"Ruang publik tidak lagi nyaman dan aman. Ruang publik makin terminimalisir dengan kepentingan personal," tegas Ichal, di Yogyakarta, Rabu (19/4).
Nilai-nilai sosial di masyarakat juga makin menurun seiring berkurangnya ruang publik. Nilai-nilai itu diantaranya, kebersamaan, tenggang rasa, dan saling menghargai. Ironisnya, nilai-nilai sosial itu sudah berbalik menjadi nilai personal seperti egois, tidak saling menghormati, atau pun tidak menyapa.
Ichal mencontohkan, ketika berjalan trotoar, orang bisa saling bertegur sapa. Namun, ketika trotoar itu sudah diambilalih oleh kendaraan, maka orang akan sewenang-wenang menggunakannya. "Bahkan, konflik-konflik sudah mulai terjadi karena perebutan ruang publik untuk dijadikan ruang personal, " tambahnya.
Terkait dengan bagaimana upaya mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai kota layak pejalan kaki, ia menegaskan perlu adanya komunikasi yang baik dengan masyarakat. Persoalan seperti maraknya PKL atau meningkatnya jumlah transportasi bisa teratasi apabila semua pihak saling mengeluarkan aspirasinya.
"Komunikasi itu perlu untuk bisa memetakan persoalan masing-masing wilayah. Peraturan tetap saja tidak bisa berjalan, ketika tidak sesuai dengan kondisi real masyarakat," katanya.
Komunikasi sesuai budaya masing masing tentu saja menjadi indikator keberhasilannya. Dalam konteks Yogyakarta misalnya, komunikasi dilakukan dengan mengedepankan budaya Jawa seperti tenggang rasa, ramah tamah, dan tepa slira.
Riset Walhi
Baru - baru ini, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta melakukan riset terhadap fasilitas trotoar yang digunakan untuk pejalan kaki. Simpulannya sekitar 74 persen fasilitas trotoar untuk pejalan kaki dinyatakan buruk.
Hasil survei tahun 2012 ini dilakukan pada 14 kecamatan di Yogyakarta. Indikator buruknya fasilitas trotoar di antaranya, lokasi pedagang kaki lima, meningkatnya transportasi yang menyerobot trotoar, kebersihan, rambu-rambu di sekitar trotoar, dan ketidaknyamanan pejalan kaki.
"Buruknya fasilitas trotoar ini menyulitkan terwujudnya Yogyakarta sebagai kota layak pejalan kaki," tegas Direktur Walhi Yogyakarta, Suparlan, di sela-sela sosialisasi gerakan "Jadikan Kota Yogyakarta Istimewa Bagi Pejalan Kaki," Rabu (19/4).
Suparlan menjelaskan persoalan trotoar yang paling krusial adalah pedagang kaki lima (PKL). Tempat berjualan PKL seringkali tidak sesuai dengan aturan yang ada. Misalnya saja, aturan PKL hanya sekitar 1,5 meter di trotoar, namun kenyatannya lebih dari itu. Sehingga, pejalan kaki pun tidak memiliki ruang untuk berjalan.
Tak hanya masalah tempat, jumlah PKL di Kota Yogyakarta yang berjualan di trotoar semakin meningkat jumlahnya. Sekretaris Kecamatan Kraton Yogyakarta, S.Widodo, mengatakan, setidaknya ada lebih dari 150 PKL tanpa ijin di wilayahnya yang berjualan di trotoar. Jumlah itu merupakan akumulasi peningkatan dari tiga tahun terakhir ini.
"Meskipun pemerintah sudah melakukan penertiban, namun PKL cenderung diam-diam berjualan di trotoar. Tentu saja, ini makin mengurangi kegunaan trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki," katanya.
Sudiyono, salah satu warga Yogyakarta tak menampik jika jumlah PKL yang menyerobot trotoar sebagai akses pejalan kaki makin meningkat. Persoalan kebutuhan hidup, katanya, menjadikan pedagang seringkali tidak memperhatikan aturan yang ada.
"Komitmen menggunakan trotoar untuk berjalan memang sudah kami ketahui. Namun kami lihat, pemerintah kurang melakukan sosialisasi kepada para pedagang untuk masalah trotoar ini," tambahnya.
Mengenai potret buruk keadaan trotoar di Kota Yogyakarta ini, Walhi berharap ada penataan ruang yang baik. Namun, penataan ruang ini tetap mengedepankan fungsi trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki tanpa mengesampingkan PKL yang berjualan. Ia juga mengingatkan, penataan trotoar di masing-masing wilayah berbeda sehingga perlu pemetaaan yang matang.
Sementara itu, persoalan lain yang mengancam keadaan trotoar di Yogyakarta adalah meningkatnya transportasi milik pribadi. Dikatakan oleh Suparlan, angkutan umum maupun pribadi seringkali menyerobot trotoar untuk lalu lintasnya. Akibatnya, pejalan kaki makin terancam dan tidak lagi menggunakan trotoar yang menjadi haknya.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR