Nationalgeographic.co.id - 10 Desember 2019 lalu, di dekat Istana Merdeka, Jakarta, ada demonstrasi dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia. Mereka menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk solidaritas kepada korban demonstran yang tewas pada September di tahun itu.
Aksi itu dihadiri juga sekelompok orang yang menggunakan pakaian hitam. Ketika long march di Jalan Merdeka Barat, mereka bernyanyi membawakan bendera hitam: "Alerta! Alerta! Antifascista!". Saya—yang saat itu iseng berpelesiran di Jakarta dan mendekati titik aksi—terkejut ketika mengetahui bahwa mereka melabeli diri sebagai Antifa.
Awalnya saya hanya mengira, gerakan ini berada di luar negeri saja. Sebagaimana yang dilaporkan di Amerika Serikat, organisasi gerakan ini kerap berbuat rusuh dan bersolidaritas dalam Black Lives Matter. Hingga akhirnya dicap sebagai teroris oleh Presiden Donald Trump pada Mei 2020.
Rupanya, setelah saya berpelesiran seputar Jakarta, ternyata massa Antifa ini kerap muncul di pergerakan Indonesia, seperti Hari Buruh (May Day). Tetapi, apa sejatinya Antifa itu bisa berdiri?
Sebelum memahami apa itu antifasisme, ketahui dulu apa itu fasisme. Sejarawan Columbia University Robert Paxton tahun 1998 menulis tentang paham itu di Journal of Modern History.
Fasisme yang berkembang pasca Perang Dunia I itu adalah paham yang otoriter dan absolut. Paham ini bisa masuk untuk bersama atau melawan komunisme, dan membuat musuh bersama yang harus dilawan, seperti sentimen terhadap etnis, ras, hingga negara lain.
Seorang fasis, biasanya menganggap golongannya adalah yang unggul untuk menguasai dunia. Sehingga memiliki militansi kuat dan dapat memobilisasi massa dengan cepat.
Baca Juga: Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?
Gerakan antifasisme pertama kali muncul ketika Italia dikuasai oleh Partai Fasis Nasional. Masyarakat yang berpaham kiri, segera membangun organisasi antifasis pertama bernama Arditi del Popolo (Orang-orang yang Berani -terj), dan Union of Anarchist Communist of Italy pada 1920-an.
Arditi del Popolo dalam setiap kegiatan perlawanan pun identik dengan pakaian warna hitam. Mereka sangat menentang kegiatan militer kalangan fasis. Paham ini kemudian menjalar ke negara-negara lain, termasuk negara yang didominasi fasisme seperti Jerman.
Organisasi antifasis pertama dibentuk pada 10 Juli 1932 dengan nama Antifaschistische Aktion (AA), oleh Partai Komunis Jerman (KPD). Hal itu dipaparkan oleh veteran KPD dalam tulisannya, Antifaschistische Aktion 1945: d. "Stunde Null" in Braunschweig.
Organisasi inilah yang menggunakan pertama kali lambang benderah merah-hitamp yang dibuat oleh dua seniman Jerman anggota Assoziation Revolutionärer Bildender Künstler Deutschlands, Max Keilson dan Max Gebhard.
Baca Juga: Kenangan Prajurit Soviet Terakhir yang Membebaskan Auschwitz dari Nazi
Gareth Dale, sejarawan Brunei University mengungkap fasis Nazi menanggapi pergerakkan ini, dengan membunuh banyak kalangan kiri seperti Komunis, dan Sosial Demokrat.
"Dari semua sektor populasi, pekerja industri di kota-kota besarlah yang menunjukkan kebebalan terhadap Nazisme. banyak anggota serikat pekerja dan sosialis mampu mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka, setidaknya dalam beberapa bentuk, selama era Nazi," tulis Dale lewat esainya, "Like Wildfire?" The East German Rising of June 1953.
Pengaruh antifasisme berkembang hingga ke Kerajaan Yugoslavia menjelang revolusinya. Seorang aktivis Partai Komunis Yugoslavia Stjepan Filipović yang mengutuk fasisme Jerman di negerinya.
Saat hendak digantung pada 27 Mei 1942, ia mengepalkan kedua tangannya dan berteriak, "Matilah fasisme, kebebasan bagi rakyat!". Dia memohon kepada masyarakat Yugoslavia agar tidak pernah berhenti melawan. Foto menjelang kematiannya menjadi simbol perlawanan antifasis hingga saat ini.
Baca Juga: AMRI, Gelora Pemuda Bantaeng Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Rupanya, gerakan anti fasis juga berkembang hingga ke Indonesia. Paham itu membawa doktrin Dimitrov dari Uni Soviet yang menyerukan front bersama untuk melawan fasisme dengan pendekatan kooperatif demi kemerdekaan Indonesia.
Wilson, penulis buku Orang dan Partai Nazi di Indonesia: Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme, memaparkan bahwa paham ini dibawa oleh Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin akhir 1930-an.
Bahkan sebelum kedatangan fasis Jepang, Sjafruddin yang paling getol mengkampanyekan bahayanya kepada pemerintah Hindia Belanda, lewat koalisi Gerindo dengan Parindra dan PSII dalam Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Dia memahami kondisi setelah melihat kekuatan dan pengaruh mereka di Asia Timur.
"Gerindo membuka diri kepada semua kekuatan sosial politik, termasuk kejasama dengan pemerintah kolonial untuk menggalang kekuatan massa menyambut bahaya fasisme," tulis Wilson.
"Tampaknya tidak ada keseiursan dari pemerintah untuk menanggapi usulan Gapi, dan Ratu [Belanda] menyatakan penolakannya."
Gerakan paham antifasisme berkembang di seluruh Indonesia, yakni Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang diikuti oleh Musso, KH Zaenal Mustofa, dan Liem Koen Hian pada Mei 1940, seperti yang disampaikan Soe Hok Gie dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Ada pula Liga Anti-Fasis yang tercatat di dalam Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia. Organisasi bawah tanah ini dibentuk oleh sekelompok orang-orang komunis Tionghoa di Medan, Sumatera Utara.
Mereka getol menyerukan propaganda anti fasisme Nazi dan Kekaisaran Jepang selama pergolakan Perang Dunia II. Soetan Sjahrir juga membuat organisasi serupa yang mendapat bantuan dari pihak Sekutu.
Baca Juga: Einstein dan Politik: Mendukung Hak Yahudi hingga Menolak Israel
Beberapa kelompok Antifa, dikutip dari BBC News, mengklaim gerakannya sudah ada sejak 1920-an dan 1930-an sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya.
Tetapi Mark Bray, profesor dari University of Hong Kong dalam Antifa: The Anti-Fascist Handbook, mengatakan gerakan Antifa di Amerika Serikat sendiri baru muncul pada 1980-an lewat Anti-Racist Action.
Bray menyebut, anggota Antifa pada awalnya tumbuh sebagai cara untuk mempertahankan jati diri punk yang dianggap berandalan oleh stigma masyarakat. Mereka juga membuat gerakan bernama Skineheads Against Racial Prejudice.
Di Inggris, Bray dalam wawancara dengan the Guardian menyebut bahwa kelompok ini tumbuh pada 1970-an seiring dengan makin populernya partai politik sayap kanan.
Mereka sempat mengalami masa tidak begitu aktif pada awal 2000-an, tetapi belakangan kian kuat seiring dengan munculnya Donald Trump yang identik dengan fasisme, supremasi kulit putih dan rasisme, dan Neo-Nazi.
Baca Juga: Einstein dan Politik: Mendukung Hak Yahudi hingga Menolak Israel
Source | : | BBC,jacobinmag.com |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR