Para arkeolog menemukan sebuah patung batu pada reruntuhan di sebuah biara Buddha, di Mes Aynak, Afganistan. Patung ini diyakini menggambarkan sosok siapa pangeran Siddharta sesungguhnya, sebelum mejadi pendiri agama Buddha.
Gérard Fussman, seorang profesor dari Collège de France, dalam studinya yang berjudul The Early Iconography of Avalokitesvara yang dipublikasikan tahun ini, mencoba meneliti patung ini berdasarkan ilmu ikonografi. Ikonografi merupakan cabang sejarah seni yang mempelajari identifikasi, deskripsi, dan interpretasi melalui isi gambar.
Patung kuno ini memiliki tinggi 11 inci (28 sentimeter) menggambarkan seorang pangeran bersama seorang wanita. Berdasarkan bukti koin perunggu yang ditemukan di dekat patung tersebut, Fussman memperkirakan patung tersebut berusia 1600 tahun. Sosok pangeran yang digambarkan dalam patung tersebut sedang duduk di kursi rotan bulat, dengan mata yang sedang melihat ke arah bawah, sementara kaki kanannya yang ditumpukan pada lutut kiri.
"Tubuh pangeran ini dibalut oleh dhoti (pakaian tradisional laki-laki di anak benua India), mengenakan sorban, memakai kalung, anting-anting, dan gelang, lalu duduk di bawah dedaunan pohon pipal. Pada bagian belakang sorban ada dua buah tali pita yang menjuntai dari kepala hingga bahu. Sorban bagian depan dihiasi dengan berbagai ornamen tanpa sosok manusia di dalamnya," tulis Fussman dalam buku terbarunya.
Sementara sosok biarawan di sebelah kanan sang pangeran, berdiri dengan lengan kanan yang sedang mengepal ke atas. Di tangan kanan biarawan itu, sedang memegang setangkai bunga teratai atau pohon palem yang sudah rusak. Dan di sebelah bawah kaki kirinya ada sebuah benda bulat.
Berdasarkan ikonografi dari benda ini, terutama dengan melihat bukti daun pipal yang ada, Fusman meyakini bahwa pangeran Siddharta Gautama adalah Sakyamuni, yang telah mencapai pencerahan dan menjadi seorang Buddha. Setelah dia menjadi seorang Buddha, memiliki kebijaksanaan dan kebajikan dari ilahi, lalu mendirikan dan menyebarkan agama Buddha.
Sosok yang ada ini menggambarkan Siddharta Gautama saat awal hidupnya, ketika dia belum melakukan perjalanan naas dan pada akhirnya mencapai pencerahan. Siddharta Gautama dikisahkan sebagai anak yang hidup di lingkungan istana. Ayah Siddharta menginginkan anaknya mengikuti jalan duniawi dan tetap terus berada di dalam istana.
Namun, hidup sang pangeran Buddha berubah ketika ia berkelana di luar istana dan melihat dunia nyata. "Segera setelah ia meninggalkan istana ia menjadi pesimis, karena dia menemui berbagai macam orang. Ia menjadi mengerti bahwa setiap orang harus bekerja, setiap orang dapat sakit, dan setiap orang akan mati, " kata Fussman. Melihat kenyataan ini, Siddharta memutuskan untuk keluar dari kehidupan istana dan menjadi seorang pertapa.
Hingga saat ini, penggalian terus dilakukan di lokasi Mes Aynak. Para ilmuwan terus meneliti guna mengamankan artefak yang ada sebelum kawasan ini terganggu oleh aksi penambangan tembaga.
Penulis | : | |
Editor | : | Andri Donnal Putera |
KOMENTAR