“Ini pewter,” ujar Lina sang pemandu, sambil menunjuk benda-benda berwarna keperakan yang ada di balik kaca. Detik itu juga pikiran saya langsung melayang ke seranai alat yang tertulis di perkamen kiriman Hogwarts yang harus dimiliki oleh Harry Potter dalam Harry Potter and the Sorcerer’s Stone: 1 cauldron (pewter, standard size 2).
Nah, kali ini pewter yang sebenarnya bisa terlihat di depan mata, tepatnya di Museum Timah Indonesia di Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka. Pewter sendiri adalah perpaduan dari logam timah putih, antimon, dan tembaga.
Menurut para peneliti dari Pusat Penelitian Metalurgi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, timah memiliki sifat yang lunak hingga mudah berubah bentuk. Oleh karena itulah ia harus dicampur dengan unsur lain sebelum diolah; menjadi gantungan kunci berelief Pulau Bangka misalnya, yang kini terayun-ayun bergelantung di tas saya. Karena relatif tidak beracun dan tahan karat, timah juga diolah menjadi kaleng-kaleng kemasan makanan seperti sarden.
Di satu-satunya museum timah yang ada di Indonesia ini, pengunjung akan dibawa mulai dari mengenal replika Prasasti Kota Kapur yang dibuat pada masa Sriwijaya berisi ancaman bagi para penentang, mempelajari geologi Pulau Bangka lengkap dengan sampel batuan serta pemetaannya. Sejarah penambangan masa awal, penambangan modern lepas pantai menggunakan kapal keruk, hingga peleburan timah, dan contoh hasil pengolahannya.
Suara “Ooooooh,” yang keluar dari mulut para pengunjung sesekali terdengar saat kisah-kisah mengenai seluk beluk timah serta perjuangan bangsa berkumandang. Di samping model kapal keruk sepanjang lebih dari satu meter, diskusipun berlangsung seru antara para pengunjung dan pemandu, menandakan museum ini sarat ilmu pengetahuan baru dan memiliki daya tarik yang unik bagi mereka.
Terlepas dari apa yang bernaung di di dalamnya, bekas rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka Tin Winning (BTW) ini memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi bangsa Indonesia. Pada 1948, saat Bung Karno serta para pimpinan tinggi diasingkan ke Bangka tepatnya di Bukit Menumbing, Muntok (Bangka bagian barat). Mereka pun mengadakan perundingan dengan utusan PBB (Komisi Tiga Negara) di rumah ini. Pertemuan ini menghasilkan penyerahan kedaulatan pada Republik Indonesia pada 1949.
Di akhir kunjungan, dalam keriuhan celoteh dan tawa para pengunjung yang sibuk berpose di sisi lokomotif yang berasal dari masa pertambangan kolonial di halaman depan museum, saya menjauh ke dekat pagar, memperhatikan museum ini secara keseluruhan. Tiba-tiba pemandangan di depan mata berubah menjadi hitam putih, sama seperti foto-foto Bung Karno yang terpampang kala mengunjungi tempat ini.
Dalam bayangan saya gambar ini bergerak. Sebuah mobil Ford Deluxe 8 berwarna hitam bernomor pelat BN 10 menderu memasuki halaman dari arah kiri, mobil yang sama yang membawa Bung Karno ke Bukit Menumbing. Mereka pun turun, para pejabat saling bersalaman kemudian lenyap ditelan bayangan gelap di balik pintu, bersiap untuk mengadakan pembicaraan penting yang membawa Republik Indonesia menuju kedaulatan penuh setelah menunggu lebih dari 350 tahun lamanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR