Lonceng gereja Westerkerk berdentang membahana. Seketika hujan deras membasahi Jalanan Prinsengracht, Amsterdam. Orang-orang sibuk mengembangkan payung-payung mereka bak bunga bermekaran di taman, kecuali saya yang berdiri pasrah lantaran tak membawa payung. Kami tengah menanti di depan rumah Anne Frank, di pinggiran kanal.
Sejak 1960 rumah gadis kecil nan riang itu dibuka untuk umum sebagai Anne Frank House. “Sebuah museum dengan cerita,” demikian sebuah kalimat di sampul buku panduan museum itu. Kutipan dari buku harian Anne, foto, film, dan benda-benda semasa yang pernah berada di rumah itu turut dipamerkan.”
Anne Frank—nama lengkapnya Annelis Marie Frank—lahir di Frankfurt, Jerman, pada 12 Juni 1929, merupakan salah satu dari jutaan korban Perang Dunia II tatkala Nazi membinasakan Yahudi. Ayah dan ibunya (Otto Frank dan Edith), berserta dua anak perempuan mereka, Margot dan Anne, pindah dari Jerman ke Belanda. Mereka memulai kehidupan di tempat barunya ketika Hitler menyatakan rezim anti-Semit.
Rumah di Prinsengracht 263 yang berlantai empat bercat hijau itu telah menjadi saksi kesukacitaan, keresahan, dan ketakutan yang mencekam keluarga Frank. Di lantai satu dan dua pernah digunakan Otto Frank untuk menjalankan bisnisnya yang menjual bahan pembuat selai dan bumbu rempah untuk masakan daging.
Dari lantai dua, saya menuju lantai selanjutnya melalui tangga kayu curam. Di sebuah ruangan di lantai tiga ini terdapat rak buku yang di atasnya tergantung peta wilayah Belanda. Rak buku itu bisa digeser!
Inilah ruang rahasia tempat mereka bersembunyi. Sejak 6 Juli 1942, keluarga Frank hidup dalam suatu tempat rahasia di rumah mereka. Satu keluarga lain—Hermann van Pels, istri dan dua orang anak lelaki mereka—turut bersembunyi di ruang tersebut. Saking rahasianya, para karyawan ayah Anne pun tak mengetahuinya. Namun, kedok mereka terbongkar pada 4 Agustus 1944, ketika dinas rahasia Jerman mengetahui ruang rahasia itu. Suatu hari yang akan mengubah hari-hari mereka ke depan.
Anne pernah mendapatkan hadiah ulang tahun dari orang tuanya sebuah buku catatan bersampul kain bermotif kotak-kotak merah dan putih. Ketika mereka hidup di ruang rahasia itulah Anne menulis buku harian yang mengisahkan kehidupan dalam suasana terpasung.
Dari buku harian Anne, kini masyarakat dunia bisa mengetahui kisah hidupnya dan kisah keluarga Yahudi lainnya dalam ketidakberdayaan ancaman rezim Nazi. Buku harian gadis kecil itu telah dialihbahasakan ke dalam lebih dari 60 bahasa, dan sebanyak 25 juta kopinya telah ludes terjual.
Sebuah buku yang berisikan daftar nama-nama orang Yahudi yang tewas dalam kamp dipajang di sudut ruang museum. Saya mengurutkan abjad, dan menemukan nama Annelis Marie Frank yang meninggal pada Maret 1945. Menurut kabar, penyakit tipus menjadi penyebabnya.
Melancongi tempat-tempat penuh kenangan di Eropa sungguh membuat saya mendapatkan cara pandang berbeda tentang benua ini. Maskapai penerbangan Garuda Indonesia dengan Airbus A300-200 menjadi pilihan wahana ke Belanda. Garuda Indonesia melayani rute Jakarta-Dubai-Amsterdam setiap Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu. Sedangkan perjalanan pulangnya Garuda Indonesia menjemput kita pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu.
Tepat pada hari ini 10 Oktober 2012, tatkala saya menulis catatan perjalanan ke Anne Frank House, dunia tengah memperingati kejadian mengerikan atas kekejian Nazi Jerman. Sebanyak 800 anak-anak di kamp Auschwitz telah binasa di kamar gas pada 10 Oktober 1944, 68 tahun silam.
Saya menatap empat foto Anne Frank dalam berbagai tingkah yang tersemat di kubikel meja. Lalu, sejenak mengenang satu kutipan yang ditulis di buku harian gadis itu, “Radio Inggris menyiarkan bahwa mereka dimasukkan ke kamar gas. Saya merasa ngeri.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR