Satu bulan setelah Presiden Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang (tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata-kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut), Menteri Kehutanan menerbitkan peta indikatif penundaan izin baru.
Peta indikatif tersebut menjadi acuan terhadap wilayah yang tidak dapat dikenakan izin baru untuk pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan perubahan peruntukan kawasan hutan serta arela penggunaan lain.
Menurut Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, peta indikatif itu akan direvisi setiap enam bulan sekali—sesuai penjabaran dalam Inpres tersebut. Revisi yang ada merupakan hasil pembahasan teknis yang terdiri dari kementrian dan lembaga: Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Informasi Geospasial, serta Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP atau UKP4).
Saat ini, peta indikatif telah memasuki revisi ketiga. Menteri Kehutanan kembali menerbitkan surat keputusan yang menetapkan revisi itu pada pertengahan November lalu. Selama pembahasan revisi, tim menerima banyak masukan dari pelbagai unsur pemerintah daerah maupun masyarakat.
Pada surat keputusan berlampiran peta skala 1:250.000 yang dapat diunduh di www.dephut.go.id ini terjadi pengurangan wilayah yang sebelumnya termasuk dalam revisi-II PIPIB. Pengurangan wilayah yang dimaksud sebesar 485.655 hektar, sehingga luas wilayah yang masuk dalam PIPIB revisi ketiga ini adalah 64.796.237 hektar.
Menurut Tjokorda Nirarta Samadhi, Ketua Kelompok Kerja Monitoring Moratorium Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan (Satgas) REDD+, perubahan ini terjadi karena beberapa faktor. Faktor itu, antara lain hasil validasi data izin pemanfaatan kawasan hutan yang terbit sebelum 20 Mei 2011 (tanggal penerbitan Inpres 10/2011) dan lahan yang masih dalam proses pendaftaran titel atas hak tanah di BPN. “Hasil PIPIB ini membuktikan bahwa Indonesia makin dekat pada ketunggalan data dan peta yang menjadi acuan kementerian atau lembaga dalam menjalankan tata-kelola pemerintahan yang lebih baik.”
“Efek positif moratorium ini mulai terlihat dengan banyaknya kemajuan demi kemajuan dalam pendaftaran izin-izin dari instansi daerah ke instansi pusat,” ujar Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4 sekaligus Ketua Satgas REDD+. Sebagai bagian dari gerakan penyempurnaan tata-kelola hutan alam dan lahan gambut sesuai Inpres Moratorium Data, sambungnya, perizinan tersebut harus dikumpulkan dalam satu basis data dan peta.
Revisi peta indikatif ini adalah masukan penting bagi Gerakan Menuju Satu Peta Indonesia atau One Map Movement, tempat Tim Teknis PIPIB juga menjadi aktor utamanya. “Seluruh kementerian atau lembaga terkait harus berperan-serta dalam One Map ini,” tegas Kuntoro.
Kerja sama yang sinergis-kolaboratif antara kementerian atau lembaga, lembaga multilateral, dan organisasi masyarakat sipil dalam perbaikan tata-kelola kawasan hutan dan lahan gambut, amat vital. Kuntoro menambahkan, semangat kerja sama seperti itu dibutuhkan bagi tercapainya tata-kelola perizinan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan secara transparan, akuntabel serta selaras dengan pembangunan berkelanjutan.
Peta Wilayah Adat
Sebelum penetapan revisi peta indikatif ketiga, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyerahkan peta wilayah adat kepada UKP4 serta BIG di Jakarta. Peta wilayah adat akan diintegrasikan ke dalam One Map Indonesia.
“Upaya integrasi peta adat ke One Map Indonesia ini penting agar masyarakat yang bergantung hidupnya pada hutan dapat tetap hidup secara lestari dengan hutan tanpa harus terasing dari tanah adatnya,” papar Kuntoro.
“Kami, masyarakat adat, telah melakukan pemetaan partisipatif di wilayah adat. Kontribusi peta-peta wilayah adat akan optimal jika disinergikan dengan upaya penyatuan peta melalui gerakan One Map Indonesia,” sebut Sekjen AMAN, Abdon Nababan.
One Map Indonesia adalah referensi tunggal satu peta Indonesia yang ke depan akan secara mudah dan benar menjadi acuan semua pihak di negeri ini. Momentum penyatuan peta, antara lain melalui penyeragaman standar dan referensi peta, kembali diperoleh dengan adanya Inpres 10/2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR