Nationalgeographic.co.id—Antropolog wajah dari University of Wollongong, Australia, Susan Hayes, berhasil memberi wajah pada tengkorak orang katai perempuan berusia 17.000 tahun yang ditemukan di Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur. Imaji dalam format 2D ini dirilis Senin (10/12) dan menunjukkan bahwa orang katai ini tidak memenuhi kriteria "cantik" manusia modern.
Dalam foto tersebut, perempuan katai ini berdagu rata dengan kening yang kurang apik. Namun, ditegaskannya jika mengenai orang katai dari Flores (Homo floresiensis) adalah mengenai ketepatan sains dan bukan mencari estetika. "Ia bukanlah perempuan cantik. Ia tak punya fitur feminim seperti mata besar atau kening yang menarik," kata Hayes.
"Wajah" ini didapatkan Hayes dengan imaji 3D beresolusi tinggi dan data CT scan dari tengkorak orang katai perempuan yang berusia 17.000 tahun. Informasi ini kemudian dimasukkan ke dalam program komputer grafis. Ini memungkinkan Hayes untuk merekonstruksi tengkorak yang ada. Wajah dan fitur lainnya kemudian ditambahkan berdasarkan struktur atribut tengkorak.
Hasil analisa ini juga mengkritisi hasil penggambaran sebelumnya yang memperlihatkan Homo floresiensis lebih mirip monyet. Sebab, penemuan Hayes menunjukkan Homo floresiensis memiliki lebih banyak fitur manusia.
"Sebagai Homo floresiensis, ia (perempuan orang katai) lebih mirip kita dibanding simpanse—yang juga relatif dekat manusia," kata Hayes.
Homo floresiensis hidup di Flores pada 17.000 hingga 18.000 tahun lalu. Tulang belulang yang ditemukan pada tahun 2004 adalah perempuan, hanya bertinggi satu meter, dengan berat 25 kilogram.
Tulang ini ditemukan pada deposit sedimen yang sama berisi peralatan batu, tengkorak gajah kecil, hewan pengerat, dan komodo. Sisa belulang Homo floresiensis digali oleh tim Professor Mike Morwood pada tahun 2003.
Kecilnya ukuran tengkorak ini membuat Homo floresiensis dijuluki sebagai hobbit --karakter manusia mungil dalam novel "The Lord of The Rings" karya J.R.R Tolkien yang akhirnya juga difilmkan ke pentas Hollywood. Namun, mereka dianggap salah satu penemuan besar dalam dunia paleoantropologi sebagai manusia paling ekstrem.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR