Alunan musik menyambut para pengunjung di dalam Cave 220, satu bagian dari The Mogau Grottoes, situs bersejarah di Dunhuang. Dunhuang adalah oase yang terletak pada rangkaian Jalur Sutra di Gurun Gobi, sebelah barat Cina.
Lampu obor berkedap-kedip, sekilas menyinari patung-patung serta gambaran mural (fresko) indah di se-antero dinding gua. Lalu tiba-tiba gua terang-berderang dengan cahaya, dan memperlihatkan sepenuhnya detail warna dan bentuk yang memukau dari mural-mural yang dilukis oleh para pendeta Buddha lebih dari 1.400 tahun silam itu.
Tetapi jangan kaget, ini bukanlah gua yang sebenarnya, melainkan sebuah gua virtual dan diciptakan ilmuwan melalui berbagai teknologi mutakhir.
Jeffrey Shaw, Direktur Applied Laboratory for Interactive Visualization and Embodiment (Alive) di City University of Hong Kong, mengutarakan, gua virtual ini didesain seperti realitasnya, agar dapat menjadi jalan melindungi situs-situs bersejarah yang terancam dari segi preservasi dan konservasi.
"Proyek ini bertujuan utama menjaga situs pusaka yang luar biasa bernilai. Tantangan saat ini dalam preservasi adalah situs bersejarah—tak dapat dicegah lagi— menjadi bagian dari objek wisata. Padahal lalu lintas manusia yang berkunjung dapat menyebabkan kerusakan besar suatu situs ratusan tahun yang 'rapuh'. Situs ini merupakan salah satu yang terancam. Meski kami akui pula keunikan ini akan membawa daya tarik turisme," urainya.
Apalagi berdasarkan laporan badan PBB, World Tourism Organization, bahwa jumlah turis internasional sampai sudah di rekor 1 miliar. Walaupun negara-negara Eropa masih menduduki peringkat teratas, pertumbuhan wisata Asia juga terus menanjak. Industri pariwisata Asia dinilai akan makin pesat berkembang.
Dunhuang Academy, yang mendorong pelestarian kompleks 492 gua The Mogau Grottoes, turut berencana untuk memasang secara permanen rekonstruksi digital sejumlah gua yang lain.
Wisata lebih
Rekonstruksi 3D dibuat dengan cara memetakan struktur gua yang asli menggunakan pemindai laser dan foto beresolusi sangat tinggi. Ditambah lagi dengan teknologi animasi serta augmented reality yang menghidupkan suasana.
Tim Alive tak luput memberikan sentuhan atmosfer etnik. Anda bisa misalnya, menikmati virtual Bodhisatva mengendarai gajah tunggangannya sementara penari menarikan Tari Dunhuang, yang koreografinya digarap Beijing Dance Academy. Tarian ini cukup terkenal, memuat banyak cerita mengenai Buddha.
Instrumen musik tradisional Cina yang mengiringinya, nampak pula di gua dalam bentuk tiga dimensi yang berputar dinamis. Seakan-akan sumber suara musik itu memang berasal daripadanya ketimbang dari speaker tersembunyi.
Banyak pakar yang menyatakan hasilnya bahkan lebih menarik secara visual dan lebih mudah didatangi. Pengunjung bakal mendapatkan pengalaman hebat menelusuri keindahan gua sekaligus mendalami nilai budaya dan nilai sejarah yang terkandung.
Yang lebih penting di samping atraksi itu, teknologi reproduksi digital akan mengabadikan situs sebelum musnah, dan generasi berikutnya kehilangan informasi. Pakar sejarah seni University of Chicago, juga telah mendesain gua Buddha lain di Xiangtangshan, Cina Utara, di mana banyak objek sudah hilang atau dipindahkan.
Daisy Wang, pakar seni The Galleries' Chinese, mengatakan, kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan sebagai arah baru yang segar di dalam konservasi budaya. "Mungkin (sebagian) orang masih berpikir, melihat yang nyata itu terbaik. Namun saya pikir, digitalisasi menawarkan jawaban atas banyak problem," pungkas Wang.
The Mogau Grottoes termasuk situs dalam Warisan Dunia UNESCO, disebut mewakili kejayaan koleksi seni peradaban Buddha dari abad ke-4 hingga abad ke-14 Masehi.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR