Engkong Mukhtar, 72 tahun, mengenang masa mudanya dulu di bilangan Kapuk Muara, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. “Dulu ini tanah semua, empang aja nggak ada. Cuman kebon!” katanya dalam logat Betawi kental. “Sekarang kebanjiran!” lanjutnya.
Banjir itu memang jadi masalah di Jl. Kapuk Raya Swadaya III Rt. 006/02. Perlahan muka tanah dari tahun ke tahun mulai digenangi air. Menurut Andri Wahyudin, tokoh pemuda setempat, banjir melanda sejak 20 hingga 25 tahun yang lalu.
“Saat banyak dibangun permukiman-permukiman. Tanah mulai ditimbun dan tidak ada resapan air. Tiba-tiba saja kampung saya jadi yang paling rendah di kawasan ini. Kami korban tata kelola kota,” jelas Andri.
Genangan air berkumpul di kampung mereka. Kampung pun mulai menyesuaikan diri, hunian dibangun menjadi rumah panggung. “Bagi yang masih bertahan mereka membangun rumah panggung, yang tidak kuat bertahan lahan itu ditinggalkan,” lanjut Andri lagi.
Perlahan rumah yang ditinggalkan terendam air dan menjadi semacam danau-danau. “Dalam airnya sampai dua-tiga meteran.” jelas Andri.
Akhirnya danau itu menjadi tempat pembuangan sampah masyarakat. Kampung menjadi kumuh dan kotor. Melihat kondisi itu sekelompok anak muda tercetus untuk membersihkan genangan air dari sampah itu.
Pada tahun 2007 muncul ide membudidayakan lele di atas lahan yang tergenang itu. “Karena budidaya lele masyarakat tak membuang sampah ke dalam air lagi, ditampung di bak sampah di pinggir kolam. Ada warga yang nanti mengangkutnya” begitu jelas Andri.
Tahun pertama masih merugi, pada tahun 2009 mulailah keuntungan didapat. Mereka mulai menemukan formula yang tepat untuk membudidayakan ikan lele di atas genangan-genangan air itu. Yang mereka pilih adalah sistem jaring apung atau waring yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sekarang produksi ikan lele mereka sampai satu ton per tiga bulan panen. Lingkungan jadi bersih, masyarakat bisa berswadana membangun jembatan dan jalan kecil di kampung. Kini mereka memiliki koperasi dan kelompok budidaya perikanan berbadan hukum.
Budidaya lele telah mengantar mereka membangun kampung jadi paguyuban. Bank sampah didirikan, begitu juga pendidikan anak di bawah lima tahun. Inovasi terus berlanjut, sekarang merambah ke komunitas kawasan. Mereka mulai memikirkan mangrove yang ada di pinggir pantai.
Lalu didirikanlah perkumpulan 'Bale Mangrove' untuk merekrut anak-anak muda untuk peduli lingkungan di kawasan Kapuk Muara. Gerakan paguyuban ini mereka namakan sebagai “Komunitas Kapuk” yang kemudian mendapat perhatian dari sejumlah lembaga.
Tahun ini kampung mereka menjadi salah satu juara kompetisi kewirausahaan sosial dari British Council Indonesia. Kompetisi itu memang mencari usaha yang berbasis komunitas untuk mengembangkan ekonomi rakyat. Sebagai hadiahnya mereka mendapat bantuan dana sampai Rp100 juta yang digunakan sebagai modal mengembangkan usaha budi daya ikannya.
Upaya mereka memang pantas mendapat acungan jempol dan bisa menjadi contoh kampung-kampung lain. Di kampung itu, banjir permanen bukan lagi dipandang bencana tapi menjadi berkah.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR