Mengangkat perfilman nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri, harus diciptakan dengan cara mengatasi berbagai kekurangan infrastruktur industri perfilman yang, bila sudah ada pun, belum terbangun dengan baik.
Hal ini jadi fokus dalam diskusi Hari Film Nasional ke-63 bertajuk "Menata Ulang Infrastruktur Industri Agar Berpihak pada Perfilman Nasional", yang dihadiri oleh para insan perfilman, di Kawasan Rasuna Epicentrum Kuningan, Jakarta, Selasa (16/4).
Keynote speech dari Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kementerian Parekraf, Ahman Sya, mengatakan, kemajuan film nasional identik dengan kemajuan sebuah bangsa karena film adalah cermin budaya: pengetahuan, contoh perilaku, dan kreativitas bangsa.
Pengamat JB Kristanto mengutarakan, "Bagaimana pun film adalah produk kebudayaan. Selama tahun 2008-2012, rata-rata beredar 84 judul film Indonesia, walau polanya sama, yaitu hanya sekitar 20 judul yang dianggap berhasil di pasar."
Kristanto telah menulis beberapa jilid katalog perfilman yang kini juga sudah muncul secara daring dengan situs filmindonesia.or.id. Dan situs ini dikembangkan pula menjadi lebih luas, tidak hanya katalog, melainkan juga pemetaan jumlah penonton film. Maka ia pun menguraikan sejumlah data mengenai praktik ketimpangan film nasional di bioskop kita.
Tempat pemutaran film di tanah air terdiri atas 82 persen jaringan bioskop 21/XXI, 10 persen bioskop Blitz, dan delapan persen merupakan tempat pemutaran alternatif. Namun, dari jumlah totalnya itu film nasional baru mengisi kuota 26 persen layar dan 24 persen jam tayang. Sisanya untuk menayangkan film impor.
"Berdasarkan data-data itu, dapat saya analisis bahwa film nasional bisa ditingkatkan dengan sistem peredaran yang lebih baik dari sistem yang sekarang. Serta, tentu kebijakan yang jelas memihak pada film nasional," pungkasnya.
Menurut Abduh Aziz, pekerja film dan anggota Dewan Kesenian Jakarta, pemerintah wajib berpihak. Keberpihakan pemerintah ditunjukkan dengan menjadi fasilitator persaingan yang adil.
Kewajiban pemerintah tersebut sudah diatur dalam UU No. 33/2009 yang telah disahkan Presiden RI sejak tahun 2009. "Pemerintah perlu mengawal lingkungan yang adil, harus ada semacam perlindungan terhadap pelaku industri film lokal dari persaingan pasar bebas. Itu sudah domain negara," kata Abduh.
Ditambah lagi bioskop kita belum mampu menjangkau pelosok seluruh pulau di Indonesia. Saat ini di Indonesia terdapat 162 bioskop dengan sebanyak 721 layar. Meski demikian, persebaran bioskop tidak merata pula.
Tercatat 79,63 persen bioskop berada di Pulau Jawa, 7,41 persen di Pulau Sumatra, 4,94 persen di Pulau Kalimantan, 3,09 persen di Pulau Sulawesi, dan 0,5 - 2,5 persen di Pulau Bali, Kepulauan Riau, dan Maluku. Pulau-pulau lainnya tidak punya bioskop.
Semua orang memiliki kesempatan yang sama menonton film, tapi dari persebaran populasi 13 persen penduduk saja yang memiliki akses ke bioskop.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR