Awal Juni 2013. Semua orang yang kami kenal pada kunjungan pertama ke Kampung Sarongge, Jawa Barat, sedang sibuk membicarakan persiapan Festival Sarongge pada akhir bulan nanti. Dudu Duroni, petani muda dan mantan pemburu yang kemudian beralih haluan sebagai polisi hutan, menceritakan bahwa rumahnya sekarang menjadi sanggar kesenian Sunda.
Saung Sarongge, sebuah balai besar, sedang sibuk diselesaikan pembangunannya. Letaknya di tepi jalan desa, persis di sebelah kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Bangunan itu akan menjadi pusat kegiatan masyarakat petani. Peresmiannya pada saat festival yang akan menampilkan berbagai kesenian dan pertunjukan budaya Sunda.
Tempat favorit kami, bagaimanapun, tetaplah camping ground. Di sana, beberapa puluh meter saja dari batas hutan dengan ladang, berdiri sebuah kompleks alami. Ada saung besar bertingkat, bangunan dapur, rumah pohon, bangku-bangku yang tersebar, rumah pohon, dan bangunan toilet. Kesemuanya dibangun dari bahan bambu dan kayu. Terdapat pula aneka tanaman yang diberi label nama.
Perjalanan ke sana selalu menarik buat saya. Ika sebagai rekan seperjalanan akan meminta saya menebak nama sayuran di kanan dan kiri jalan.
Puluhan tahun mencintai gunung dan hutan Jawa tak pernah membuat saya semakin pandai mengenal aneka tumbuhan.
Kang Wawan, ketua RT 03 di Kampung Sarongge, kali ini bertugas memandu kami menuju ke camping ground untuk mengadopsi tiga pohon: rasamala atas nama anak saya Naomi, ki hujan atas nama Ika, dan saninten leutik (masih kerabat pohon pasang) atas nama saya.
Kang Wawan kemudian mengajak kami menelusuri jalan setapak yang mengarah ke atas punggungan gunung. ”Itu sudah kelihatan ki hujan,” tunjuknya ketika kami hampir mencapai kawasan ladang terakhir. Pohon itu rimbun, bagian puncaknya tampak menyembul lebih tinggi dari pohon-pohon lainnya di hutan yang rapat.
Ke sanalah kami melangkahkan kaki, masuk hutan primer, untuk mengagumi pohon yang langka dan menjadi kesukaan banyak pejabat untuk diadopsi.
Ki hujan ini sering salah disamakan dengan trembesi yang sebenarnya bukan tumbuhan asli Nusantara. Orang menyukainya karena pada masa tertentu, runtuhan serpih-serpih dari bunganya menyerupai butir-butir air hujan. Pemandangan yang bagaikan bunga mimpi dan jarang disaksikan orang.
Perjalanan menuju hutan tempat ki hujan kami lakukan sekali lagi keeseokan harinya tanpa Kang Wawan. ”Halo, gunung,” ucap saya dalam hati ke arah Gunung Gede. Dari sana kami memintas menyeberang ke punggungan sebelah. Di sana, beberapa petak ladang tampak telah ditinggalkan oleh petani. Sebagian besar lainnya belum.
”Tanggal 31 Agustus nanti barulah semua petani harus sepenuhnya meninggalkan ladang, membongkar gubuk-gubuk, saung, yang menjadi tempat istirahat saat bekerja,” kata seorang lelaki petani berusia 60-an tahun.
Ketika saya sedang bersantai sementara Ika berada di bangunan dapur, si bapak petani itu muncul tanpa dinyana dan ikut bergabung dengan saya di ”saung kecil”—istilah kami untuk empat bangku kayu yang mengitari meja kayu pula di salah satu pojokan camping ground yang diberi atap.
Cerita tentang petani Sarongge, di mata saya, merupakan cerita yang mewakili pergulatan petani di Pulau Jawa. Lahan semakin sempit, penduduk semakin banyak, sehingga terpaksa merambah hutan di lereng-lereng gunung.
Para petani Jawa menyiasati keterbatasan lahan, bersaing dengan para pemodal yang menanam tanaman industri di desa mereka hanya karena udaranya cocok untuk jenis tanaman investasinya. Seperti perkebunan-perkebunan strawberry yang tampak beroperasi di Sarongge.
Di saat yang sama, Jawa membutuhkan hutan. Jalan damai yang terbaik dapat mengacu kepada moto sederhana yang diucapkan seorang petani Sarongge dalam novel karya Tosca: ”Perlu ada tiga ’o’. Leweung hejo. Reseup anu nenjo. Patani ngejo. Hutan kembali hijau. Yang melihat merasa senang. Petani pun tetap bisa menanak nasi.”
Kisah sebelumnya mengenai Sarongge: Pelestarian Berbasis Masyarakat di Sarongge
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR