Alih-alih mendorong orang mengurangi bobotnya, persoalan "diskriminasi berat badan" lebih cenderung menggiring kepada obesitas. Demikian para peneliti dari Florida State University College of Medicine menyimpulkan, dalam sebuah penelitian yang baru saja dipublikasikan jurnal PLoS ONE, 24 Juli.
Telah ada berbagai studi yang menghubungkan antara diskriminasi berat tubuh dan kemiskinan secara ekonomi serta pengaruh psikologis. Persoalan ini cukup diminati di Amerika Serikat karena angka kasus diskriminasi berat badan tergolong tinggi. Dewasa ini diskriminasi dan prasangka terhadap berat badan orang lain dapat terjadi di mana saja di ruang publik: lingkungan kerja, media, bahkan di jalan raya.
Namun sangat sedikit studi yang telah memeriksa apakah bentuk diskriminasi tersebut mungkin juga berdampak bagi berat badan jangka panjang. Kini penelitian Angelina Sutin, ialah seorang guru besar ilmu psikologi, dan Antonio Terracciano, ingin coba mengungkapnya.
Data kesehatan peserta dari tahun 2006-2010 digunakan untuk meneliti. Tidak tanggung-tanggung, mereka mempelajari hingga sekitar 6.000 orang.
Gambaran hasil analisis itu: jika mereka yang terkena diskriminasi tersebut pada 2006, maka peningkatan risiko menjadi lebih gemuk ditemukan saat penilaian kembali empat tahun kemudian. Risiko ini sampai tiga kali lipat lebih besar dibandingkan risiko peserta yang tidak mengalami atau merasakan diskriminasi.
"Ejekan, diskriminasi terhadap berat badan bukan memotivasi seseorang untuk mengurangi berat badan, melainkan mengarah ke risiko obesitas," beber Sutin, "Penelitian ini pun menyatakan, rasa malu yang ditimbulkan dari diskriminasi tak mampu menginspirasi untuk berubah. Malah akan memiliki efek sebaliknya. Tidak seperti lazimnya sangkaan orang."
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR