Sebelum dunia mengharu biru dilanda Perang Dunia II, tujuh perusahaan besar menguasai industri minyak internasional, yaitu: Shell, Standard of New Jersey, Gulf, Texaco, British Petroleum, Standard of California dan Standard of New York. Lima di antara tujuh perusahaan besar itu beroperasi di Hindia Belanda, yang menjelma dalam tiga perusahaan kelas atas: Shell; Standard of California dan Texaco lewat Caltex; dan Standard of New Jersey bersama Standard of California melalui Stanvac.
Gerak maju pasukan Jepang tak tertahan lagi. Rasa panik melanda pemerintah Hindia Belanda. Ladang-ladang dan kilang-kilang minyak yang dibangun dengan jerih payah sengaja diluluhlantakkan tentara Hindia Belanda.
Api berkobar di sumur-sumur minyak di Kawengan, Cepu, begitu juga kilang minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij di Cepu; terlebih lagi di kilang Pangkalan Brandan.
Untungnya tak semua instalasi minyak benar-benar hancur lebur. Kilang minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij di Palju misalnya, masih relatif utuh, yang berhasil direbut tentara Jepang. Selama pendudukan Jepang yang singkat, kilang-kilang dan sumur-sumur minyak yang rusak diperbaiki kembali.
Para serdadu Jepang mencoba memperbaiki instalasi industri minyak sembari menunggu tenaga ahli dan teknisi perminyakan. Tenaga-tenaga perminyakan yang bernaung di bawah Nampo Nen Rioso Butai, di Angkatan Darat Jepang. Dengan adanya tenaga ahli itu, ditambah tenaga perminyakan Indonesia yang bekerja di perusahaan minyak, perbaikan industri perminyakan berlangsung cepat.
Dalam waktu relatif singkat, Jepang telah mampu memproduksi minyak bumi. Meski perbaikan dilakukan dengan peralatan dan suku cadang serba terbatas, Jepang mampu mendapatkan sumur minyak baru, seperti di Lirik, Sumatera Tengah; Kawengan, Cepu; dan Minas I, Riau.
Jepang memompa sumur-sumur minyak Indonesia dengan kekuatan penuh. Minyak diperlukan untuk menggerakkan mesin-mesin perang negeri Matahari terbit itu. Kurang lebih selama dua bulan, Jepang telah menangguk minyak bumi dari sumur yang telah diperbaiki dan sumur baru.
Dalam tahun 1943 saja, produksi minyak bumi zaman Jepang ini mencapai 50 juta barrel, yang pada 1940 produksi mencapai 65 juta barrel.
Aroma perang masih menyelimuti dunia. Tentara Sekutu diam-diam terus merangsek. Sekutu dan Jepang saling intai dan saling incar. Sekutu ternyata tertakdirkan menjadi pemenang.
Usai bom atom menghancurkan Hiroshima pada 6 Agustus 1945, disusul Nagasaki pada 9 Agustus, Jepang akhirnya mengibarkan bendera putih pada 14 Agustus.
Tiga hari kemudian, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada zaman kemerdekaan ini industri minyak Indonesia memasuki babak baru. Kendati telah merdeka, Sekutu memasuki Indonesia.
Dalam barisan Sekutu, terdapat pasukan Belanda. Ini berarti juga ada kepentingan tiga perusahaan kelas kakap—Shell, Caltex (kini, Chevron Pasific Indonesia) dan Stanvac, yang telah menguasai berbagai ladang dan kilang minyak sebelum masa perang.
Selepas Jepang bertekuk lutut, seperti telah banyak diketahui, Belanda menggelar dua kali Agresi Militer I dan II, dibarengi dengan berbagai perundingan. Hakikatnya: Belanda berniat kembali menguasai Indonesia. Selama masa awal kemerdakaan dan zaman Agresi, kaum pergerakan merespon dengan menguasai industri minyak yang ditinggalkan Jepang.
Sumatera bagian Utara para pejuang Laskar Minyak mengambil alih lapangan minyak milik Bataafsche Petroleum Maatschappij. Jepang menyerahkan Pangkalan Brandan—yang dibangun De Koninlijke—kepada Residen Abdul Karim MS dan Luat Siregar sebagai wakil Republik Indonesia. Laskar Minyak lantas membentuk Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia, yang mengoperasikan instalasi yang telah dikuasai.
Geliat penguasaan lapangan minyak terus berlangsung. Di Aceh, Perusahaan Minyak Republik Indonesia atau Permiri, memegang kendali kilang Langsa dengan kapasitas 40 ton sehari. Permiri menangguk minyak bumi dari lapangan Rantau, Serang Jaya, Julu Rajeu Darat, Pelaga Said, Rantau Panjang, Perlak, Arubai Uebong dan Pase. Nasib berbeda dialami kilang Plaju, Sumatera Selatan. Kilang untuk mengolah minyak dari lapangan seputar Palembang ini dihancurkan pejuang Indonesia dalam pertempuran sengit dengan tentara Belanda.
Begitu juga, Angkatan Pemuda Indonesia Minyak juga menguasai kilang Sungai Gerong. Nasib tambang-tambang minyak di Jawa tak jauh beda dengan yang di Sumatera. Panitia 15 mengambil alih ladang minyak di Cepu dan sekitarnya. Perusahaan Tambang Minyak Negara mengelola ladang minyak di Ledok, Nglobo, Kawengan, dan Semanggi. Sementara itu, Belanda bisa menguasai kembali kilang minyak Wonokromo.
Situasi Indonesia saat itu belum benar-benar tertata. Belanda masih saja menghendaki kembalinya ladang-ladang minyaknya yang dulu. Setelah Konferensi Meja Bundar pada 1949, kilang minyak Cepu dan lapangan Kawengan, Ledok, Semanggi dan Nglobo dikembalikan kepada Bataafsche Petroleum Maatschappij sebagai pemilik awal. Meski begitu, Perusahaan Tambang Minyak Negara masih memegang kendali lapangan minyak yang lain. Hingga akhirnya, Republik Indonesia menguasai dua wilayah industri perminyakan: Permiri di Langsa dan Cepu Barat.
Setelah melewati berbagai pergolakan, pemerintah Indonesia membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan pada 1951. Salah satu tugas Panitia Negara itu adalah memberi pertimbangan tentang sengketa dalam tambang minyak. Pada awal 1956, pemerintah Republik Indonesia menghapus perjanjian Konferensi Meja Bundar. Panitia Negara bertugas memberi pertimbangan soal Tambang Minyak Sumatera Utara.
Pada tahun itu juga, Indonesia mengatur pengawasan tambang minyak di Aceh dan Sumatera Utara, yang dikenal sebagai Tambang Minyak Sumatera Utara itu. Demi kepentingan rakyat banyak, pemerintah pusat mengambil alih urusan Tambang Minyak Sumatera Utara. Lantas pemerintah, lewat Angkatan Darat, membentuk PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (PT ETMSU). Ibnu Sutowo sebagai pemegang saham atas nama pemerintah. Tak lama kemudian, PT ETMSU berubah nama menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT Permina).
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR