Berada di ujung utara Kepulauan Rempah-rempah, Pulau Morotai menyimpan beragam cerita. Sejarawan Adnan Amal melalui buku bertajuk “Kepulauan Rempah-rempah” mengungkapkan kisah Kerajaan Moro yang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah Morotai pada sekitar abad 15. Prof. Adrian Lapian menyebutkan, kerajaan Moro sama tuanya dengan kerajaan Loloda dan Jailolo. Pusat kerajaan berada di Mamuya, kini masuk ke dalam kecamatan Galela, Halmahera Utara. Di wilayah Morotai, kerajaan ini memiliki kota penting, seperti sakita, Mira, Cio, dan Rao.
Kerajaan Moro memang sempat terlupakan. Nama ini muncul kembali setelah melalui penelusuran tekun Adnan Amal. Tanpa kenal lelah, Adrian memaparkan fakta sejarah kerajaan yang pernah menonjol pengaruhnya dan menarik misionaris Fransiscus Xaverius untuk singgah di sana. Sebelumnya, jejak ini belum terungkap. Moro lebih dikenal lantaran mitos sebagai orang yang dapat menghilang.
Menelusuri sisa kerajaan memang tak mudah. Namun, Morotai masih menyimpan jejak yang begitu jelas: napak tilas Perang Dunia II. Peninggalan yang masih dapat terlihat dengan jelas terserak mulai dari daratan hingga dasar perairan. Ada yang berupa bangunan fisik, ada pula sisa-sisa peralatan perang. Saya hanya dapat mengelus dada saat mendapati peninggalan sejarah itu terancam hilang oleh kegiatan manusia (perburuan besi tua yang terus-menerus menyebabkan berbagai peninggalan perang hanyalah cerita semata). Padahal, saya begitu yakin dengan kemasan yang tepat dan menarik, tinggalan-tinggalan mampu menarik minat para pelancong.
Wisata Sejarah
Pada masa Perang Dunia II posisi geopolitik Morotai amat strategis. Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur menjadikan Morotai dalam janjinya seusai dipukul mundur oleh Jepang dari wilayah Filipina. Sang jenderal mengubah pulau kecil Morotai menjadi tempat yang hiruk oleh kegiatan perang sebagai bagian dari rencana untuk merebut Filipina dari kekuasaan Jepang.
Saya mengamati sisa dua landasan udara di dekat Teluk Pitu. Dari tujuh landasan udara yang dibangun oleh Sekutu di selatan pulau, saya hanya dapat melihat dua landasan – yang masih layak didarati oleh pesawat udara sekelas Boeing 737 seri 300. Kini, landasan itu dikelola oleh TNI AU. Di sini tak ada penerbangan sipil yang secara berkala mendarat.
Peninggalan peralatan perang seharusnya memang mudah dijumpai. Sejarah mencatat, “Battle of Morotai” melahirkan epik atas upaya pasukan AS dari cengkeraman Negeri Matahari Terbit. Peperangan ini berlangsung dari September 1944 hingga Agustus 1945. Pasukan AS membangun pangkalan militr laut dan udara di dekat Daruba, ibu kota Kabupaten Morotai.
Kini, saya begitu prihatin dengan saat mengetahui peninggalan perang yang hilang. Tank, pesawat, kapal perang, jip, dan lainnya nyaris tak lagi bersisa lantaran menjadi target perburuan besi tua. Kabarnya, ada perusahaan besar yang mengolah barang bersejarah itu untuk dilebur menjadi besi dan baja olahan. Sebagian kecil diambil oleh penduduk lokal dan diolah menjadi berbagai macam barang keperluan rumah tangga, suvenir, perhiasan, dan eksterior rumah.
Michael Sjukrie dan penyelam lainnya asal Jakarta sempat menjumpai beberapa bangkai pesawat pembom dan tempur Sekutu di dasar perairan Morotai. Reruntuhan ini menjadi obyek foto bawah laut yang menarik di antara warna biru gelap yang menghiasi perairan dengan kedalaman lebih dari 20 meter.
Kegiatan ekskavasi besi tua ini memang masih berlangsung sampai sekarang, seperti diungkap pak Naji dan pak Darwin. Keduanya merupakan pengrajin di desa Daruba, yang merupakan sentra pengrajin besi putih, yang merupakan hasil olahan dari besi peralatan perang Sekutu. Mereka mendapatkan bahan baku besi ini dari para penyelam tradisional di kampung tetangganya. Jadi setelah bangkai-bangkai peralatan perang di darat di darat habis, mereka merambah yang di laut. Hasil kerajinan rakyat ini yang paling laku diantaranya adalah peralatan masak, cenderamata, perhiasan, bahkan pisau dan samurai.
Pulau Zum-zum, pulau kecil 10 menit berperahu ke arah Barat dari Daruba, terdapat monumen McArthur. Kondisi tidak terawat. Ada patung torso McArthur, tapi sudah bocel-bocel. Seputar monumen penuh ilalang. Di dekat landasan Pitu juga ada situs sejarah "Air Kaca", yaitu kolam mata air tempat McArthur biasa mandi. Namun kondisinya juga tidak terawat, cenderung kusam.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR