Winia Sari (14) berusaha keras tidak memperlihatkan rasa sakit, saat bertubi-tubi sang uwa menusukkan hiasan bunga pada rambutnya yang disanggul tipis. Sesekali mukanya meringis, namun seketika disusul senyum lagi. Air mukanya menyampaikan sebuah pesan: bangga.
Ini kali keempat Winia mengikuti ritual Ngarot. Menurutnya, kali ini dia sudah cukup terbiasa dengan mahkota yang akan bertengger di kepalanya seharian. Perjumpaan pertamanya dengan hiasan kepala itu empat tahun lalu, berbuah tangis dan perih sepanjang siang. Matanya tertuju kepada lensa yang tengah membidiknya.
Bicaranya mengayun santai dan penuh ketenangan, “Saya ingin menunjukkan bahwa saya mencintai budaya ini, dan akan turut melestarikannya.” Dari kalimat itu, entah mengapa saya tidak merasa dia sengaja menyusun jawaban yang terkesan baik.
Bagi perawan sepertinya, Ngarot memberikan nilai tersendiri. “Kalau bunga kenanganya, memang asli dan dikumpulkan tadi subuh, tapi kalau bunga warna-warni ini biasanya replika,” jelas dia bersemangat.
Kenanga (Cananga odorata forma macrophylla), merupakan salah satu simbol ritual Ngarot. Selain mahkota bunga, para perawan yang mengikuti ritual ini dibekali banyak perhiasan oleh ibunya. “Ibu dari nenek saya melakukannya, nenek saya melakukannya, ibu saya melakukannya, saya melakukannya, lalu kenapa Winia tidak pula?” sahut Rasmina.
Saya bertemu dengan ibu ini, sesaat sebelum ia menjemput Winia usai didandani para ibu yang ada di situ. Rasmina sendiri tampil cantik, berkebaya biru dan rambutnya disanggul.
“Ritual Ngarot itu, intinya ya minta berkah ke Tuhan. Kita ini kan masyarakat tani, dengan komposisi 80% dari penduduk di desa ini bertani, sisanya menjadi pedagang. Mungkin orang-orang itu salah pengertian, soalnya yang ikut perjaka dan perawan, jadi mereka menyangka, mereka bisa mengawininya setelah Ngarot selesai,” ujar Warson, salah satu warga, menyinggung kesan negatif yang didapat dari upacara ini.
Tidak lama setelah kalimat itu kami terbahak. “Ya saya, istri saya, anak-anak saya, semua ikut Ngarot. Ini salah satu kebudayaan tua yang sampai sekarang masih mendapat dukungan dari dinas Budpar. Pada dasarnya, ritual ini dilakukan menjelang masa tanam, tepatnya 20 hari setelah tanam pertama.”
Alasan mengapa yang boleh mengikuti upacara ini hanya anak perawan dan anak bujang (perjaka) adalah, bagi masyarakat Desa Lelea, keperjakaan dan keperawanan merupakan sebuah kebanggaan. Adat ketimuran melapisi pola pikir mereka, di mana perbuatan zina merupakan bagian dari kemaksiatan. Ritual ini menunjukkan betapa kesucian manusia menjadi perisai kokoh yang membentuk karakter masyarakat yang ada di sekitar Desa Lelea.
“Para tetua mengatakan, kalau ternyata para gadis yang menjadi peserta Ngarot itu sudah tidak perawan, seketika rangkaian kenanga yang menghiasi kepalanya akan layu.”
Setelah dua kali menyeruput teh hangat, saya tergelitik bertanya lagi. Kali ini, mengenai imaji negatif bisnis prostitusi di Indramayu dan sekitarnya, “Adakah kenyataan ini meresahkan?” Pak Warson terdiam sebentar. Menyeruput tehnya. Terdiam lagi.
Lalu akhirnya angkat bicara. “Yang terjadi di kota, itu saya tidak mengerti. Kami di desa, selalu menjunjung tinggi norma adat dan norma agama. Mungkin saja, apa yang menjadi rumor itu memang benar apa adanya. Saya juga tidak ingin menyalahkan siapa-siapa.”
Masyarakat Desa Lelea tidak membuat ritual ini menjadi penebusan, apalagi tameng atas realita yang berkembang di sana. Bertani, masih merupakan prioritas. Lagipula, Indramayu sebagai salah satu kota transit yang memegang peranan penting di pantai atau pesisir utara Jawa (pantura), memang berkembang sebagai daerah dengan lanskap yang bersahabat bagi para petani.
Bila Anda memasuki Desa Lelea dari jalan besar, maka perkenalan pertama Anda dengan tempat ini akan dimulai dari hamparan sawah hijau yang memanjakan mata.
*Artikel ini merupakan bagian dari feature Indramayu berjudul Kenanga Pantai Utara di National Geographic Traveler Indonesia edisi Maret 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR