“Mejuah-juah.” Sapaan khas masyarakat Karo ini kami dengar saat naik angkutan umum minibus menuju Lau Kawar, di kaki Sinabung, gunung stratovolcano di Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Lau Kawar adalah nama danau yang “tertoreh” di dinding Sinabung.
Minibus melintasi jalanan beraspal berkelok dan menanjak dimulai dari Simpang Kuala di Medan menuju Pajak Kabanjahe (warga lokal menyebut pasar dengan pajak), melalui rute Pancur Batu-Pemandian Sembahe-Sibolangit. Tiba di Lau Kawar, selimut kabut menyisakan gambaran buram danau. Saya tertegun, tidak tergerak untuk memotret karena berniat suatu waktu akan kembali ke kaki gunung ini.
Berawal dari penasaran, saya tergelitik mengumpulkan informasi pendakian Gunung Sinabung. Pertemuan dengan para anggota pecinta alam dari kampus UNIKA Santo Thomas Medan—yang rutin menyapa Gunung Sinabung—menggulirkan kesempatan bagi saya untuk menebus penasaran.
Dengan membawa bekal cukup, saya kuatkan tekad mendaki gunung berketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut yang pernah “mengamuk” pada September 2010 ini. Pasca erupsi itu, gunung yang tertidur sekitar 400 tahun ini menarik perhatian banyak orang. Selain saya dan rekan-rekan mahasiswa, juga turut tiga orang yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di gunung.
Kami mendirikan tenda di tepi Lau Kawar sembari menunggu malam tiba sekaligus untuk menyimpan barang-barang sehingga mengurangi beban bawaan. Tak jauh dari danau yang berada di Desa Kutagugung, Kecamatan Naman Teran, ini terdapat bendungan. Baik tepi danau maupun tepi bendungan sama-sama disesaki bangunan dari gazebo, pemukiman sampai penginapan.
Tampak di kejauhan, lapangan berumput serta deretan pohon pinus menghiasi punggung gunung. Mumpung masih sore, kami meleluasakan indra mata menikmati keanggunan alam. Malam, barulah kami memulai pendakian. Sengaja demikian agar sesampainya di puncak nanti mendekati saat matahari terbit.
Jarak dari danau menuju puncak gunung sekitar lima kilometer dengan trek yang terus menanjak. Kami pun berkemas dengan penuh semangat, tak sabar ingin segera menyinggahi puncak Sinabung, gunung tertinggi di Sumatra Utara. Terlihat kepulan asap putih. Meski tergolong bersahabat, mendaki gunung ini tetap harus bersiaga.
Data dari Pos Komando Pengamatan Gunung Sinabung Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana mencatat 300-400 gempa vulkanik per bulan. Awalnya, Sinabung merupakan gunung bertipe B karena tidak pernah menunjukkan aktivitas vulkaniknya sejak 1600 Masehi. Dua orang yang pernah mendaki Sinabung sebelumnya, Roges Naibaho dan Truli Purba, menjadi pemandu pendakian kali ini.
(Kisah pendakian Gunung Sinabung di Sumatra Utara telah diterbitkan di Majalah National Geographic Traveler edisi Juli 2013, ikuti kisah kelanjutan pendakian Sinabung: Keindahan yang Menggetarkan Hati)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR