Perawatan benda-benda seni koleksi Istana Negara yang rusak harus melewati birokrasi berbelit sebelum dapat ditangani. Istana juga tak punya pelukis istana yang bertugas merawat dan memperbaiki kerusakan lukisan.
"Butuh persetujuan tujuh meja, mulai dari Presiden, Menteri, sampai jajaran di bawahnya, sebelum sebuah lukisan mendapat perawatan," kata dosen Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa Institut Seni (ISI) Yogyakarta yang sejak 2009 menjadi konsultan kurator koleksi karya seni rupa di Istana Negara, Mikke Susanto, yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (1/10).
Selain lewat jalur birokrasi sangat panjang, pegawai yag merawat sangat kurang. Umumnya haya staf pemeliharaan dan tak bisa merestorasi lukisan rusak. "Akhirnya, bertahun-tahun perawatan yang dilakukan hanya pemeliharaan ringan," kata Mikke.
Menurut dia, seharusnya istana punya pelukis istana agar koleksi lukisan segera ditangani. Biro Pengelolaan Istana yang saat ini mengelola koleksi benda seni istana, hanya berperan sebagai badan pelaksa pengurus koleksi istana sehingga upaya perawatan tidak maksimal.
(Lihat: Menelanjangi Lukisan Pangeran Diponegoro)
Pada era Soekarno, sejumlah pelukis ditunjuk sebagai pelukis istana presiden, yakni Dullah, Lee Man Fong, dan Lim Wasim.
Agus Dermawan T, kritikus seni yang juga narasumber ahli koleksi benda seni istana-istana presiden, menuturkan, pemerintahan sejak lengsernya Presiden Soekarno cenderung kurang memperhatikan koleksi benda-benda seni.
"Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yuhoyono dilakukan uji petik untuk seluruh koleksi istana presiden, tahun 2010-2011," kata Agus. Diketahui, istana sampai akhir 2010 punya sekitar 16.000 potong koleksi.
Rinciannya 2.700 lukisan, 1.600 patung, 11.800 karya kriya atau kerajinan. Nilainya mencapai R1,5 trililiun "Rincian itu kami laporkan dan pertanggungjawabkan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara," kata Agus. (Simak juga: Siasat Restorasi Mahakarya Koleksi Istana).
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR