Gempa dahsyat mengguncang Sumbawa pada minggu kedua April 1815. Tambora menggelegar hebat. Sulit untuk membayangkan dentuman akbarnya. Gunung yang awalnya berketinggian 4.300 meter itu sebagian puncaknya amblas, sehingga hanya tersisa 2.851 meter! Terbentuklah kawah kepundan sepanjang tujuh kilometer dengan kedalaman lebih dari satu kilometer.
Berikutnya, hempasan awan panas menyeruak bersama lahar dan batu-batuan yang menerjang permukiman dan ladang di lereng gunung. Sekitar 92 ribu jiwa pun binasa termakan amukannya.
Seorang lelaki ningrat yang menyadari malapetaka itu mencoba bergegas dan berlari keluar dari rumah. Namun, tiba-tiba sebuah pohon berukuran besar tumbang menimpa rumahnya, dan lelaki malang itu tewas tergencet. Semuanya terjadi begitu cepat.
Bencana Tambora pun mendunia. Bukan hanya lantaran beritanya, melainkan juga dampaknya setahun kemudian. Pada 1816 iklim Amerika Serikat dan Eropa berubah drastis, dan orang-orang mengenangnya sebagai “tahun tanpa musim panas.” Pasokan hasil pertanian dan ternak dunia terpuruk. Kabarnya, letusan dahsyat ini juga telah menghentikan Perang Napoleon.
Lebih dari 190 tahun kemudian, I Made Geria dari Balai Arkeologi Denpasar menjamahi pusat bencana itu. Dia dan timnya melakukan ekskavasi di pinggang Tambora. Mereka berhasil menemukan perabotan keramik Dinasti Ching (piring, cawan, mangkok, buli-buli), tembikar, tali tambang dari bambu yang dipintal. Selain itu mereka juga berhasil menyingkap reruntuhan kompleks rumah dari bambu dan kayu, perhiasan emas, botol minuman keras, tombak, keris, dan kerangka seorang lelaki dengan sebagian daging yang menghangus.
“Rangka ini ditemukan tertindih rumah serta ditimpa pohon yang berukuran besar yang diduga terjadi saat letusan Gunung Tambora,” ungkap I Made Geria dalam Berita Penelitian Arkeologi, Balar Denpasar 2008.
(Baca sebelumnya: Inilah Peneliti Pertama Penyingkap Gunung Tambora 1847)
“Posisi rangka menengadah dengan posisi kaki kiri agak tertekuk dan kaki kanan terlipat kebawah,” tulis Made. Seolah menggambarkan kengerian yang terjadi, kerangka lelaki malang itu menutup mukanya dengan tangan, sementara tangan lainnya terangkat ke atas di samping kepala.
“Melihat posisi rangka diduga orang tersebut waktu kejadian lari keluar rumah untuk menyelamatkan diri.”
Masih melekat di kerangka lelaki tersebut, menurut Made, terdapat sebilah keris dengan warangkanya yang tersemat di pinggang kirinya, sementara kotak tembakau di bagian pinggang yang diduga diselipkan dalam lilitan stagen pengikat kain. “Penggunaan keris yang dipasang melintang di bagian depan pinggang di daerah Dompu umumnya dipakai kaum bangsawan dan pejabat,” catatnya.
Selisik tentang temuan reruntuhan kompleks perumahan dan rangka lelaki ningrat itu membuahkan dugaan Made yang mengarah pada ciri-ciri keberadaan Kerajaan Tambora. Dia pun berharap situs ini mendapatkan dukungan semua pihak untuk kelestariannya. “Kawasan situs perlu mendapat perlindungan karena tempatnya terbuka dan mudah diganggu.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR