Nyaris tidak ada hutan untuk pelepasliaran orangutan. Demikian diakui Ayu Budi Handayani, aktivis Pusat Penyelamatan dan Konservasi Orangutan Ketapang International Animal Rescue (IAR). Dalam diskusi bertajuk Aktivitas 3R Rescue, Rehabilitation, Release Orangutan dan Permasalahannya yang diadakan di CICO Resort, Bogor Jawa Barat (24/10), dokter hewan ini menyatakan, “Sampai saat ini kami baru menemukan dua hutan di Ketapang Kalimantan Barat untuk melepasliarkan yaitu Gunung Tarak dan Pematang Gadung”.
Luas hutan yang terus menyusut karena pembukaan lahan besar-besaran serta konversi hutan menyebabkan sulitnya menemukan hutan untuk pelepasliaran orangutan yang sudah direhabilitasi pusat konservasi yang dimiliki IAR. Cukupkah hanya dua hutan yang dijadikan pelepasliaran orangutan di Ketapang Kalimantan Barat? “Nggak. Sebenarnya nggak cukup,” Ayu menegaskan. “Ke depannya kami masih melakukan survei lagi (untuk tempat pelepasliaran).
Untuk melepasliarkan orangutan yang sudah direhabiltasi memang tidak boleh sembarangan. Salah syaratnya adalah menjaga kemurnian genetikanya. Eko Prasetyo dari Borneo Orangutan Survival (BOS) menjelaskan alasannya. “Orangutan mempunyai subspesiesnya masing-masing. Juga berlawanan dengan hak asasi hewan untuk percampuran genetik. Kita harus menjaga benar genetik murni dari masing-masing subspesiesnya,” jelas Eko.
Lebih jauh Eko menambahkan, bahwa di Kalimantan sendiri ada tiga subspesies, Pongo pygmaeus pygmaeus di wilayah Kalimantan Barat, Pongo pygmaeus wurmbi di Kalimantan Tengah, dan Pongo pygmaeus morio di Kalimantan Timur. “Sebelum masuk pusat rehabilitasi di tes genetik dulu untuk tahu dari mana. Jangan sampai kita dapat orangutan dari Kalimantan Selatan kita lepaskan di Kalimantan Timur.” Dengan jumlah hutan yang semakin menyusut maka syarat pelepasliaran orangutan yang disebutkan Eko membuat wilayah pelepasliaran pun semakin terbatas.
Menurut Hasudungan Pakpahan dari Yayasan Gibbon Indonesia yang bertindak sebagai moderator diskusi, masalah utama dari pelepasliaran satwa adalah belum adanya cetak biru untuk kegiatan konservasi menyeluruh yang dibuat pemerintah. Hasudungan menjelaskan, ”Saya melihat ini munculnya tidak bisa sektoral, harus di Bappenas. Jadi, kita harus punya cetak biru berapasih yang harus kita alokasikan untuk kegiatan konservasi.”
Hasudungan melanjutkan penjelasan, ”Dinas Kehutanan punya kawasan konservasi seperti cagar alam, taman nasional. Tapi kan, kita tahu bahwa di luar kawasan konservasi banyak orangutannya juga. Nah, ini biasanya berada di bawah kewenangan daerah. Biasanya larinya ke masalah Pendapatan Asli Daerah.” Lantaran alasan pemasukan untuk daerah itulah, maka begitu ada yang mengajukan konsesi untuk blok hutan A atau B oleh pemerintah daerah langsung diberi.
“Apa saja sih sumber daya alam kita. Mana yang mau dikonservasi? Misalnya untuk orangutan Kalimantan, target kita berapa orangutan yang akan dipertahankan? Di setiap provinsi di mana dan berapa yang kita pertahankan?” Hasudungan mengajukan pertanyaan yang perlu kita renungkan. “Kita punya target misalnya 100.000 individu di tiap provinsi. Kemudian kalau punya target 100.000, di mana saja lokasinya? Ini jangan diganggu-gugat, dong.”
Kepastian akan wilayah konservasi untuk pelepasliaran orangutan ini juga yang di sampaikan Enis dari IAR, “Paling tidak untuk status hutan yang lebih secure, yang sudah masuk kawasan konservasi. Harus clear dulu dengan statusnya.” Karena upaya yang telah dilakukan akan sia-sia apabila pelepasliaran orangutan di kawasan hutan yang akan beralih fungsi statusnya. Apabila demikian, dipastikan pada masa mendatang orangutan yang dilepasliarkan itu akan kembali tergusur.
Penulis | : | |
Editor | : | Fatimah Kartini Bohang |
KOMENTAR