Alam Nusantara menjadi saksi terciptanya dua karya agung yang dihasilkan oleh naturalis Inggris Alfred Russel Wallace. Karya pertama berupa sumbangan petualang cum peneliti itu terhadap teori Evolusi. Bersama Charles Darwin, dia ditabalkan sebagai penemu-bersama teori yang berpengaruh besar pada peradaban manusia itu.
Karya kedua yang hingga kini abadi di Tanah Air adalah garis Wallace. Garis ini memisahkan Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali dengan kepulauan di sisi timur: Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
“Garis Wallace membentang dari Selat Lombok ke Selat Makassar hingga Mindanao Selatan, di Laut Filipina,” terang Emil Salim dalam peringatan seabad wafatnya Wallace, di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 10 – 13 November lalu.
Teori Evolusi barangkali telah menjadi milik komunitas ilmiah dunia. Tapi garis Wallace yang sekaligus menciptakan kawasan Wallacea hanya ada di Indonesia.
Kini, bagaimana kisah kawasan yang dipisahkan oleh laut dalam dari Asia dan Australia? Sebagai sebuah negara-bangsa, Emil Salim memaparkan, 85 persen populasi Indonesia tersebar di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. “Sekaligus 85 persen produk domestik bruto Indonesia.”
Kawasan di sisi barat garis Wallace (Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan) telah menikmati perdagangan laut sepanjang Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Karimata dan Selat Makassar. “Sejarah perdagangan laut internasional itu membentuk kurva U yang menghubungkan Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan,” urai mantan menteri lingkungan hidup 1983 – 1993 ini.
Hubungan terbuka dengan dunia global itu telah memasukkan sains, teknologi dan pendidikan di sisi barat garis Wallace. “Sisi barat garis Wallace meraih manfaat dari perkembangan dan koneksinya dengan dunia Barat.”
Kendati menemukan teori Evolusi lewat seleksi alam, Wallace menyatakan kapasitas mental tertinggi manusia tidak muncul dari seleksi alam. “Tetapi dicapai dengan faktor-faktor nonbiologis, seperti teknologi, sains dan pendidikan,” terangnya.
Di sisi timur garis Wallace membentang kawasan Wallacea, yang meliputi Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara, dengan keanekaragaman hayati berlimpah. Pulau-pulau dan perairan wilayah Wallacea sangat unik dan berbeda dengan sisi barat.
Lantaran itulah, Emil Salim memaparkan, pembangunan yang berkelanjutan mesti menimbang keunikan Wallacea. “Diperlukan pendekatan pembangunan yang berbeda dengan sisi barat,” terang Emil Salim. Dia menyarankan untuk tidak mengadopsi pola pembangunan yang eksploitatif di sebelah barat.
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia ini menggaris-bawahi pernyataan Wallace: kapasitas mental tertinggi manusia dicapai dengan faktor-faktor nonbiologis. “Kemampuan mental yang tinggi bisa diperoleh pendidikan dan pengembangan kapasitas. Ini yang akan menjadi dasar bagi pengembangan sains dan teknologi untuk mempercepat pembangunan di sisi timur,” Emil Salim membeberkan.
Dengan begitu, keterhubungan Wallacea dengan wilayah kurva U di sisi barat mesti segera dibuka dan dirintis. “Penerapan pembangunan berbasis nilai tambah sumberdaya dengan kapasitas mental manusia yang tinggi akan mengantarkan kawasan Wallacea menyambut 100 tahun Kemerdekaan Indonesia pada 2045,” pungkas Emil Salim.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR