Kementerian Kelautan dan Perikanan memperketat pengawasan benih ikan, ikan, dan pakan biologi untuk mengantisipasi meluasnya penyakit sindrom mati awal pada udang. Wabah ini meluas di Amerika Latin serta sebagian negara Asia bagian selatan dan tenggara.
”Kami meningkatkan pengawasan, terutama di pintu-pintu pelabuhan impor. Kami minta petambak dan pembudidaya berhati-hati. Penyakit early mortality syndrome (EMS) sangat mematikan,” kata Sharif Cicip Sutardjo, Menteri Kelautan dan Perikanan, Selasa (26/11), seusai membuka Seminar Nasional Penyakit Ikan Karantina di Jakarta.
Penyakit EMS juga dikenal dengan acute hepatopancreatic necrosis syndrome (AHPNS) disebabkan oleh bakteri. Meski sangat ganas dan mampu membunuh 100 persen udang berumur 20-30 hari, penyakit ini tak menular pada manusia.
Kasus ini pertama kali dilaporkan Cina tahun 2009, disusul Vietnam (2010), Malaysia (2011), Thailand (2012), Meksiko, dan India. ”Pencegahan kami lakukan dengan menolak udang impor dari negara-negara itu,” kata Sharif.
Serangan bakteri EMS merugikan Vietnam hingga Rp1 triliun. Di Thailand, pemerintah dan petambak terpaksa mengeringkan 90 persen tambak untuk mematikan bakteri. Di Malaysia, EMS menurunkan 30.000 ton (40 persen) produksi normal.
Tahun 2013, negara-negara terinfeksi mengalami penurunan ekspor udang sangat signifikan. Thailand turun 23,8 persen, Vietnam 19,7 persen, dan Cina 28,4 persen.
Di Indonesia, kata Sharif, ekspor udang diperkirakan akan meningkat karena tak mengalami penolakan akibat EMS. Transaksi ekspor udang hingga kuartal kedua 2013 mencapai 800 juta dollar AS. Diperkirakan 1,3 miliar dollar AS hingga akhir tahun.
”Selain tak kena wabah, pengusaha tambak sedang menikmati harga udang sangat tinggi. Tahun 2012 harganya Rp 50.000 per kilogram, saat ini Rp 105.000 per kilogram,” katanya.
Narmoko Prasmadji, Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjelaskan, penularan EMS bisa dibawa induk, bibit, dan pakan. ”Semua impor yang berpotensi membawa penularan kami awasi. Kemarin kami tolak impor dari Malaysia,” katanya.
BKIPM menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah dan petugas perikanan lain untuk menangkal penularan bakteri. Terkait banyaknya pintu masuk ilegal, ia akan menjalin kerja sama dengan kepolisian.
Arif Satria, pakar politik ekologi Institut Pertanian Bogor, mengatakan, penguatan petugas dan teknologi di Balai Karantina perlu dilakukan. Deteksi mikroorganisme pada ikan atau pakan hampir tidak mungkin dilakukan dengan mata telanjang.
”Selain udang, komoditas rumput laut yang diusahakan masyarakat kecil rawan penyakit
seperti ais-ais (bintik putih semacam cacar). Padahal, rumput laut juga produk andalan kelautan yang sedang booming,” katanya.
Penyakit lain seperti infectious myonecris virus (IMNV), koi herpes virus (KHV), taura syndrome virus (TSV), Ichthyophtirius multifiliis, Lernaea cyprinacea, white spot syndrome virus (WSSV). Penyakit IMNV pernah menghancurkan budidaya udang vaname di Situbondo, Jawa Timur, pada tahun 2006.
Tahun 2002, penyakit KHV mematikan 95 persen populasi ikan mas dan koi di Indonesia.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR