Hari masih gelap. Sang mentari belum lagi muncul dari peraduannya saat pemandu menjemput saya di kamar hotel. Ia meminta saya segera berbenah menuju pos Sembalun Lawang, titik awal memulai pendakian ke puncak Rinjani. Saat matahari menguak cakrawala, memandang ke sebelah kiri, terlihat bukit-bukit kuning rerumputan sisi Rinjani Timur cukup menggoda pagi ini untuk segera menjejakkan kaki.
Tiba di gerbang Desa Sembalun Lawang, sebuah desa yang menjadi awal pendakian, pengangkut barang, pemandu dan saya bersiap-siap untuk memulai perjalanan. Saat warga desa berangkat ke ladang, kami menampakkan kaki di jalur setapak yang akan mengantarkan pada titik tertinggi 3.726 meter dari permukaan laut (mdpl). Saya mulai mengabadikan kemegahan lanskap yang khas. Sabana yang menguning berlatar belakang Gunung Rinjani. Tumbuhan besar tampak hanya menyelingi panorama ini. “Amboi betapa indahnya,” saya bergumam.
Pendakian di hari pertama, kami menargetkan tiba di Pos Plawangan, sebagai titik antara sebelum pendakian tahap akhir dengan tujuan puncak Tentu saja, sepanjang perjalanan saya terus membidikkan kamera untuk merekam keindahan dan kemegahan Rinjani. Tanjakan dan jalan setapak yang berkelok menjadi menu utama dalam pendakian hari ini sebelum mencapai batas pasir dan lantai hutan, Pos Plawangan.
Ah, lelah selama pendakian pun segera terbayar saat saya menikmati keindahan matahari terbenam. Danau Segara Anak berhias kabut berpadu jingga di langit. Di sebalah timur, puncak Rinjani yang tersapu warna senja itu. Terasa sore itu begitu istimewa bagi saya yang kedua kalinya pergi ke gunung Rinjani, dan selalu terpesona di kala senja.
Perjalanan menuju titik tertinggi dimulai pada dini hari. Sebetulnya saya masih malas membuka kantung tidur saya yang memberikan kehangatan dari sengatan dingin gigir plawangan. Pada waktu itu, kerlap-kerlip lampu senter terlihat sepanjang Plawangan menuju puncak, terlihat cukup banyak pendaki yang ingin menjejakkan kaki di puncak Rinjani, bersamaan dengan terbitnya matahari dari ufuk timur cakrawala. Untunglah, saya mampu tiba di puncak bertepatan masa terbit sang mentari. Ah, nikmat, indah, dan gagah khas Rinjani — titik tertinggi ketiga Nusantara, setelah Carstenz Pyramid di Papua dan Gunung Kerinci di Jambi.
Kenikmatan pendakian Rinjani bukanlah tanpa perjuangan. Rinjani sempat memiliki catatan buruk. Sebelum pembenahan kegiatan wisata di kawasan konservasi ini, para pendaki membeberkan serangkaian curahan hati, mulai dari faktor keamanan hingga pelayanan selama pendakian.
Ary Suhandi, pemerhati ekowisata dari Indecon, menuturkan kisah sukses transformasi wisata Rinjani. Pada awal tahun 2000, masyarakat Desa Senaru dan Sembalun Lawang mulai melakukan urun rembuk. Beragam perbincangan, entah itu melalui forum resmi ataupun di kala rehat, menghasilkan kisah yang menarik diikuti.
Saat itu, program pembenahan yang didukung oleh New Zealand Aid/NZAID memberikan perhatian karena semakin terpuruknya kegiatan wisata di Taman Nasional Gunung Rinjani yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Asmuni Irpan, salah seorang tokoh yang paling berperan di dalam upaya mengubah kondisi kepariwisataan mengawali program ini dengan mengikuti pelatihan untuk pelatih yang diselenggarakan oleh Indecon (jaringan ekowisata Indonesia) di tahun 2000.
Asmuni yang bekerja sebagai pendamping masyarakat beserta timnya membantu masyarakat untuk mengidentifikasi dan memetakan potensi yang mereka miliki, mengkaji kebutuhan masyarakat dan secara perlahan kemudian melakukan perencanaan bersama-sama. Proses peningkatan kapasitas masyarakat ini memakan waktu kurang lebih dua tahun, hingga menghasilkan kelompok masyarakat pengelola pariwisata seperti saat ini.
Beberapa waktu lalu, Wita Simatupang, seorang arsitek asal Jakarta – berkunjung ke desa Senaru bersama dua teman asingnya. Mereka berencana mendaki Rinjani dan menikmati panorama lanskap desa yang unik. Begitu tiba, Wita bercerita kepada saya, mereka mendapatkan sambutan dan keramahan ala masyarakat Lombok. Bila dulu para pemandu selalu memburu turis asing, bahkan membuntuti hingga ke tempat menginap, kini telah berubah. Cerita usang itu, benar-benar telah sirna. “Tak ada lagi rayuan dengan paksaan, perang tarif, dan turis pun merasa nyaman untuk merencanakan pendakian,” ujar Wita yang mengutip kisah itu dari Suma, salah seorang pengelola wisata senior di Senaru. Sebelum perubahan, ada pengelola tur asal Lombok yang merasa perlu menyewa tenaga bantuan aparat untuk melindungi tamu asingnya.
Usai pertemuan para pelaku dan masyarakat desa, yang kemudian menelurkan sejumlah peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, kegiatan wisata di kawasan Rinjani semakin terkelola dengan baik. Koperasi wisata di Senaru dan Sembalun Lawang yang dibentuk masyarakat bersama Badan Pembina Trek Rinajani (BPTR) saat ini mengelola pendakian diatur dalam satu atap dengan awik-awik (peraturan) yang mereka susun bersama.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR