Sejak lama sebenarnya sejumlah pendatang memperhatikan dan berbaur dengan warga setempat. Pakar lingkungan Amanda Katili, misalnya, lebih dari 20 tahun tinggal di sebuah gang mengantong di Kemang Utara. Ia mendirikan Rumah Baca Impian bagi para tetangga, 1993. Perpustakaan ini pada 2003 menjadi mandiri, diurus pemuda mushala setempat.
Elizabeth Widjaja (34), ibu rumah tangga di Kemang Raya, sejak 2003 menyulap ruang tamunya untuk Kelompok Bermain dan TK Pelangi gratis bagi 55 anak-anak tak mampu. Eli juga memberdayakan orangtua yang mengantar anak sekolah dengan membuat berbagai benda dari barang bekas. Celengan, tempat sepatu, pin, gantungan kunci, hiasan magnet itu lumayan laris saat dijajakan di Festival Jalan Kemang.
Walau akhir pekan, kawasan hang out di Kemang bak Kuta – kian macet justru setelah pk 22:00, sehari-hari, warga Kemang – pemukim dan pendatang, tetap merindukan nuansa rumah. “Kalau makan siang, saya senang jalan kaki santai ke Kemang Barat, di warung prasmanan, menyantap pepes ikan dan sayur asam. Di mana di Kemang kita bisa enak makan hanya dengan Rp 15.000?” kata Suzan, “Kapan-kapan saya juga ingin mencoba warung makan di pojok Kemang Selatan yang ramai oleh pembeli bermobil – bukan sopir-sopir, lho, ha, ha.”
Kemang masih menyisihkan tempat bagi lidah yang akrab dengan dim sum dan masala di tempat gemerlap dengan selera asal di sudut-sudut bersahaja.
Selamat datang di Kemang.
*) dimuat di National Geographic TRAVELER Vol.I No.5, Juli-Agustus 2009, hlm.24-29
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR