Pada pekan mendatang, umat Kristiani di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Natal. Di antara segenap persiapan, salah satu yang pantang dilewatkan yaitu kado, yang dibagikan kerabat maupun sahabat. Biasanya, kado-kado diletakkan di bawah pohon terang atau di dalam kaos kaki di dekat perapian pada malam Natal. Sebagian anak-anak masih memercayai dongeng klasik tentang Santa Claus yang membawakan kado-kado untuk mereka.
Sejumlah literatur mengungkap suatu peristiwa saat orang-orang majas dari Timur membawakan persembahan istimewa berupa emas, dupa, dan damar untuk memuliakan bayi Yesus. Di mata mereka, kelahiran sang nabi merupakan hadiah tak ternilai dari Sang Maha Pencipta. Peristiwa ini memang tidak serta merta menginspirasi lahirnya tradisi beri-memberi kado, namun tidak bisa dipungkiri sisi mulia konsep kado: mengekspresikan kebaikan dan kesediaan untuk berbagi kepada sesama.
Berabad-abad kemudian, suasana Natal yang semula hening dan kudus di mana kebanyakan umat Kristiani berkontemplasi dan berdoa, pun berubah lebih semarak. Memasuki Era Victoria, tradisi beri-memberi kado yang mengakar dari tradisi Saturnalia pada zaman Romawi mulai merebak di Eropa dengan segenap versinya. Namun inti dari tradisi ini tetap merunut konsep awalnya: menebar kebaikan, kehangatan, dan semangat Natal dengan melibatkan orang terdekat atau aksi sosial.
Dahulu, anak-anak di Belanda menerima hadiah mereka lebih awal pada malam St. Nicholas, 5 Desember (semasa hidupnya, sang uskup gemar berkeliling dan membagikan kado kepada anak-anak miskin). Sementara anak-anak di Inggris, Amerika, dan Jepang, membuka kado-kado mereka tepat pada Hari Raya Natal, 25 Desember. Sedangkan umat Katolik di Spanyol dan Meksiko baru membuka kado-kadonya belakangan saat perayaan Epiphany pada 6 Januari atau sebulan setelah malam St. Nicholas.
Kini, di era modern, tradisi beri-memberi kado menjadi usaha komersil besar-besaran, bahkan promosi bisnisnya sudah bergulir begitu liburan musim panas berlalu. Kado-kado natal pun tak lagi sesimpel sebagaimana dikisahkan Charles Dickens dalam buku A Christmas Carol, atau puisi The Night Before Christmas karya Clement Clarke Moore. Dahulu, kado Natal berupa kue, baju, boneka (kayu) buatan tangan, kini wujudnya bertransformasi menjadi lebih canggih, seperti peralatan elektronik dan digital.
Memaknai tradisi beri-memberi kado yang lebih luas, kini baik individu maupun organisasi berlomba menggulirkan inovasi, bukan dalam konteks wujud kado yang lebih jor-joran, melainkan niatannya yang lebih mulia. Sejak awal Desember, Four Seasons Hotel, menggelar program Twinkle Stars for Little Star dalam seremoni Christmas Tree Lighting. Para tamu diperkenankan “memetik” satu dari seratusan ornamen bintang yang digantung di pohon terang.
Di tiap ornamen bintang itu tertera nama anak yatim piatu dari tiga panti asuhan se-Jabodetabek berusia beberapa minggu sampai 12 tahun. Para tamu bisa memberikan kado-kado bagi si pemilik nama melalui staf hotel yang berlokasi di kawasan Kuningan ini. Selanjutnya, staf hotel akan menyerahkan kado itu kepada si pemilik nama. “Semangat kebaikan dimulai dari diri sendiri,” kata Ersev Demiroz, hotel manager. “Lalu, ditularkan kepada staf hotel, para tamu, juga lingkungan sosial.”
Penulis | : | |
Editor | : | Fatimah Kartini Bohang |
KOMENTAR