Kasus kematian Shizuko penting dijadikan pelajaran. Dari tiga pendaki yang tewas dalam sepekan ini, Shizuko Rizmadhani adalah pendaki yang termuda, baru menginjak 16 tahun.
Shizuko mengembuskan napas terakhirnya di Kandang Batu (2.220 meter di atas permukaan laut) atau pendakian menjelang puncak Gunung Gede, Cianjur, Jawa Barat, setelah terserang hipotermia. Siswi SMA Negeri 6 Bekasi itu diketahui meninggal pada Selasa (24/12) malam.
Mahesa Vicky, tim sukarelawan dari Indonesian Green Ranger, yang ikut memindahkan korban, mengatakan bahwa dia mendapat informasi, ada pendaki yang mengalami kedinginan hebat dan perlu pertolongan.
"Kami (petugas Ranger) dan tim relawan langsung menuju lokasi. Menurut rekan-rekannya, korban mulai kedinginan dari Senin (23/12) malam, dan tim sudah berhasil mengevakuasi (memindahkan) jenazah korban dari atas gunung," tutur Vicky.
Mengapa bisa kedinginan hebat? Apa tindakan teman-temannya, mengingat korban tidak mendaki sendiri? Selain itu, apakah korban sebelumnya tidak siap mendaki kendati untuk Gunung Gede yang berada 2.958 meter di atas permukaan laut?
Cuaca ekstrem
Banyak pertanyaan dan pendapat bisa muncul melihat kasus ini. Namun jelas sekali bahwa, di Gunung Gede, yang tidak terlalu tinggi dan jaraknya hanya "selemparan batu" dari Jakarta, seorang pendaki muda bisa tewas hanya karena hipotermia. Gunung ini kembali makan korban.
Kok bisa? Tentu saja, bisa. Pertama, Desember bukan waktu yang baik untuk pendakian di gunung-gunung tropis Indonesia, terutama untuk pendaki pemula. Seperti diketahui, berdasarkan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan di akhir musim transisi pada Oktober-Desember harus diwaspadai, serta kemungkinan intensitas curah hujan yang sangat tinggi pada bulan Januari-Februari 2014.
"Terkait intensitas hujan, sesuai prediksi BMKG, bulan Oktober-Desember merupakan akhir dari musim transisi, dan puncak musim penghujan yang berkelanjutan serta tidak mengenal waktu, dan intensitas diwaspadai terjadi pada Januari-Februari," ujar Kasubid Informasi BMKG Harry Tirto kepada Antara.
Artinya, mendaki di masa-masa cuaca "tak bersahabat" seperti ini butuh ekstra perhatian, baik fisik, perbekalan, maupun peralatan. Pendaki profesional pasti tahu betul, mendaki pada bulan Desember hingga Februari berisiko diterjang hujan dan angin setiap waktu. Kehilangan panas tubuh karena dihantam hujan dan dingin sepanjang hari adalah "musuh utama" mendaki pada musim seperti ini.
Kedua, rencana pendakian. Tanpa perencanaan baik, selain tidak nyaman, mendaki di tengah cuaca buruk seperti ini risikonya pada nyawa. Matangnya perencanaan terkait erat dengan berat dan tidaknya rute pendakian, kebutuhan perbekalan, kesiapan fisik, peralatan, dan sebagainya, sepanjang waktu pendakian dilakukan. Nah, bagaimana persiapan korban dan teman-temannya sebelum mendaki Gunung Gede ini? Ini menjadi pertanyaan karena diketahui bahwa korban pergi mendaki bersama 27 rekannya.
Seperti dilansir oleh sejumlah media, sulit mendeteksi kesiapan korban dan timnya dalam pendakian ini, mengingat mereka tidak membawa obat-obatan atau perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K). Soal penanganan kondisi korban yang melemah pun tidak diketahui.
Disepelekan
"Yang saya baca di koran, kondisi fisik Shizuko sudah melemah. Ditambah pula dia ditinggal sendirian di tenda sewaktu timnya summit attack (pendakian ke puncak). Itu tentu saja fatal karena tidak ada teman korban yang tahu kondisi terakhir korban. Pertanyaannya, kenapa orang sakit ditinggal sendirian di tenda," tukas Andy Reezwandy (35), seorang pendaki gunung asal Jakarta.
Ia mengaku, Gunung Gede selama ini memang sudah terstigma sebagai rute pendakian untuk pemula. Bahkan, anak-anak di bawah usia 15 tahun kerap diajak orangtua atau sekolahnya mendaki di gunung ini.
"Artinya, jadi seperti wisata saja, apalagi ditambah dengan omongan kalau naik gunung sekarang ini sedang ngetren. Nah, akhirnya persiapan utama mendakinya malah banyak disepelekan orang. Itu bahayanya," kata Andy.
Faktor ketiga adalah persiapan fisik. Sampai saat ini, mendaki gunung masih masuk ke olahraga ekstrem. Terkait olahraga luar ruang, "bermain-main" di gunung berarti siap-siap berkawan dengan buruknya cuaca yang susah ditebak.
"Kembali lagi ke soal pengetahuan, pendidikan yang menjadi bekal si pendaki. Dengan pengetahuan yang dia punya, sudah barang tentu persiapan pendakiannya juga baik. Dia pasti tahu risiko yang akan dia hadapi, sudah dia ukur. Minimal siap menghadapi risiko itu karena alam tidak bisa ditebak maunya," kata Adiseno, pendaki senior Mapala UI.
Di gunung apa pun dan setinggi apa pun, mendaki pada musim penghujan ini butuh persiapan matang, kondisi fisik prima, serta peralatan dan perbekalan memadai. Tentu saja, semua itu berhulu pada pengetahuan pendakian yang dimiliki seorang pendaki. Pertanyaannya, sudahkah hal-hal utama ini dipenuhi maksimal oleh korban dan teman-temannya? Karena risikonya sudah langsung terjawab, korban meregang nyawa karena serangan hipotermia atau kehilangan suhu panas tubuh akibat basah dan kedinginan.
Jangan-jangan, soal hipotermia dan penyebabnya pun kita tak tahu dan tak mau tahu! Rasanya, inilah pelajaran berharga yang harus diambil mengingat masih banyak pendaki yang akan menuntaskan pendakiannya pada Desember hingga Februari nanti.
Bukan sesumbar, tak perlu takut mati jika punya keinginan mendaki, asalkan persiapan telah maksimal dipenuhi. Anda sudah siap?
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR