Di masa damai, sebenarnya hanya ada Pasar Gotong Royong dan Pasar Mardika, dekat daerah Batu Merah yang dominan Muslim. Di pemulihan pasca konflik, Ambon punya tiga pasar kaget. Pertama, pasar Batu Merah (Muslim) dekat pelabuhan. Kedua, pasar Batu Meja (Nasrani) di bukit, dan ketiga, Pasar Baku Bae (pasar perdamaian) dekat Hotel Amans. Bak mencerminkan pembagian zona, Ambon Utara (Islam) dan Ambon Selatan (Kristen).
Karena jaraknya dekat-dekat, kami naik becak. Tapi, “Sampai di sini saja, kalau mau lanjut ke sana, ganti becak,” ujar si penarik becak di tiap batas “garis demarkasi” menunjuk ke pangkalan becak di seberang. Ha, ha, lucu tapi getir, padahal, kami hanya akan ke lokasi persis di seberang.
„Boleh dikata, kita satu kota saling kenal dari wajah dan logat. Tahu Islam atau Kristen,“ katanya lagi. Bagi pendatang, kantong mesti dirogoh lebih dalam karena beberapa kali harus ganti becak bahkan untuk jarak pendek. Meski saat itu terus dikampanyekan persahabatan Acan dan Obet (Hasan dan Robert, pralambang pemuda Islam dan Kristen), warga setempat tampaknya masih membatasi melewati garis demarkasi.
Keprihatinan kami segera pupus oleh suguhan pasar. Ada yang bisa didapati di semua pasar: beragam olahan sagu (makanan pokok warga Maluku) untuk papeda, bagea (manisan sagu), biji kenari, biji pala dan selaput biji pala merah putih di kotak-kotak kayu. Beragam ikan laut segar tertata di meja, sementara ikan cucut dan cakalang asap besar-besar di ember dan baskom besar. Tomat, cabe, bawang, bunga pepaya, campuran daun papaya dan jantung pisang serut ditakar segundukan kecil.
Di Batu Meja, saya temukan kepala babi dan RW (olahan daging anjing). Sedang musim langsa(t) bercitarasa gabungan duku dan menteng, manggis dan durian. Penjualnya oma-oma berdandan cantik kebaya khas Maluku. Sementara di Batu Merah, saya berpapasan dengan wanita bercadar. Di pasar Baku Bae yang dijaga tentara, saya jumpai biskuit dan makanan kemasan logistik tentara.
Saat itu masih diberlakukan jam malam di batas antardesa di luar pusat kota Ambon pukul 06.30, dan di pusat kota pukul 22.00. Toko tutup sekitar pukul 18.00, tapi makanan dan pasar sampai tengah malam. Jadi, malamnya kami balik lagi untuk pesta durian yang semuanya enak, pahit manis. Untuk makan malam, kami menyantap nasi kuning khas Manado di pinggir jalan dekat hotel.
Siang setelah menengok tiga pasar, dr Onny yang bertugas di Depkes, Jakarta memutuskan menyewa angkot ke kantor Dinas Kesehatan di Bukit Karang Panjang (daerah Nasrani) dekat Patung Christina Martha Tiahahu. Sewa angkot yang semula Rp 25.000 naik jadi Rp 30.000 dan akhirnya sepakat Rp 35.000 untuk jarak 2km dari pusat kota pergi pulang. Bisa dapat yang mau disewa saja sudah bagus. Kami melewati barak-barak pengungsi. Si supir agak takut-takut, „Wah, kalau ketahuan Islam, habislah kita.“ Toh, aman-aman saja.
Selanjutnya, agar lebih nyaman mengunjungi sejumlah pusat kesehatan, dr Onny memutuskan menyewa motor. “Pulangnya kita bisa jalan-jalan,” katanya. Ia sangat mengenal Ambon karena ketika ia remaja mengikuti tugas ayahnya sebagai komandan Pangkalan Utama TNI AL di Halong.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR