Biar bagaimanapun, wayang, menurut Ketua Perkumpulan Seni Budaya Sobokartti, Tjahjono Rahardjo, menyampaikan nilai-nilai luhur tanpa menggurui siapa pun yang menyaksikan. Wayang juga mengajarkan toleransi, tidak ada hitam dan putih, benar atau salah.
Pemerhati Semarang, Jongkie Tio, mengungkapkan, berbeda dengan wayang purwa yang merupakan kesenian dan hiburan rakyat, wayang potehi yang berasal dari China awalnya banyak dipentaskan di kelenteng-kelenteng sebagai pertunjukan untuk dewa. Karena itu, sekalipun tidak ada yang menonton, dalang wayang potehi tetap bermain.
"Tetapi saat ini orang menonton juga untuk hiburan. Sayangnya sekarang dalang wayang potehi sangat jarang. Di Semarang, hanya ada satu dalang. Sulit sekali regenerasinya," ungkap Jongkie.
Hal ini berbeda dengan wayang purwa yang sekarang mulai bergeliat. Anak-anak muda yang tergabung dalam Komplotan Bocah Wayang (Koboy), misalnya, mengadakan banyak kegiatan untuk menyosialisasikan wayang kepada anak-anak, mulai dari mengadakan workshop di sekolah-sekolah hingga membuat aneka produk, seperti kaus, pin, dan mug dengan gambar wayang.
Tentunya, jika melestarikan wayang merupakan tanggung jawab bersama, maka baik wayang purwa maupun wayang potehi, sama-sama harus dipertahankan. Ini kemudian menjadi pekerjaan rumah bersama, untuk semua, tak peduli Jawa, Batak, Sunda, Bugis, atau Tionghoa.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR