Nationalgeographic.co.id - Garis akhir menuju perubahan iklim kian mendekat. Meski, sebelumnya sempat ada optimis akan tercapai berkat lockdown yang diterapkan di beberapa negara akibat pagebluk COVID-19, ternyata tidak begitu berdampak pada ancaman yang menanti di beberapa tahun mendatang.
Para editor jurnal medis, keperawatan, kesehatan masyarakat di seluruh dunia menerbitkan editor serentak. Mereka menyerukan para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan darurat untuk mengubah masyarakat dalam membatasi perubahan iklim, memulihkan keankearagaman hayati, dan perlindungan kesehatan.
Seruan ini rencananya akan diterbitkan lewat 220 jurnal terkemuka, seperti The Lancet, East African Medical Journal, Chinese Science Bulletin, New England Journal of Medicine, International Nursing Review, National Medical Journal of India, The British Medical Journal (BMJ), Revista de Saúde Pública, dan Medical Journal of Australia.
Melansir Eurekalert, seruan dalam bentuk editorial ini akan diterbitkan sebelum Sidang Umum PBB yang akan diadakan 1 hingga 12 November mendatang di Glasgow, Inggris. Momen ini sengaja diambil untuk mendesak semua negara meningkatkan dan berambisi untuk menghormati tujuan Perjanjian Paris tahun 2015.
Konferensi yang akan akan diselenggarakan November nanti penting diadakan, meski masih di tengah pagebluk COVID-19, untuk membahas isu global. Maka, para editor juga memperingatkan bahwa ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat global adalah perubahan iklim itu sendiri, dan harus menjaga kenaikan suhu agar tetap di bawah 1,5 derajat Celsius, dan pemulihkan alam.
Para editor menulis, para ahli kesehatan lewat jurnal telah memperingatkan berkali-kali dampak yang parah dan terus meningkat pada bidang kesehatan dari perubahan iklim dan perusakan alam. Kematian yang diakibatkan panas, peristiwa cuaca yang merusak, dan ekosistem yang kian sedikit akan mengancam kesehatan bagi anak-anak dan orang tua, etnis minoritas, masyarakat miskin, hingga mereka yang memiliki masalah kesehatan.
Baca Juga: Apakah Editor Jurnal Bertanggung Jawab atas Rendahnya Kualitas Penelitian Mental Karena COVID-19?
"Tindakan yang tidak memadai ini berarti bahwa kenaikan suhu kemungkinan besar akan melebihi 2°C, akibat bencana bagi kesehatan dan stabilitas lingkungan," tulis para editor jurnal melalui laman The Lancet.
"Yang terpenting, perusakan alam tidak memiliki ekuitas harga dengan elemen iklim dari krisis, dan setiap target global untuk memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati pada tahun 2020 terlewatkan. Ini adalah krisis lingkungan secara keseluruhan."
"Lingkungan dan kesehatan saling terkait. Perubahan iklim membahayakan kita dalam banyak hal, termasuk dampak kritisnya terhadap kesehatan dan pemberian perawatan kesehatan," ungkap Eric J Rubin, Editor-in-Chief The New England Journal of Medicine.
Baca Juga: Studi Jelaskan Bagaimana Perubahan Iklim Memicu Pagebluk Covid-19
"Sebagai praktisi medis dan kesehatan masyarakat, kami memiliki kewajiban tidak hanya untuk mengantisipasi kebutuhan perawatan kesehatan baru tetapi juga untuk menjadi peserta aktif dalam membatasi penyebab krisis iklim.”
Kendati menyepakati Perjanjian Paris, rupanya usaha mengurangi emisi dan melestarikan alam belum sesuai rencana. Pihak editor jurnal mendesak tata masyarakat dan ekonomi, misalnya dengan dukungan desain ulang sistem transportasi, kota, produksi dan distribusi makanan, pasar untuk investasi keuangan, dan sistem kesehatan.
Investasi semacam itu akan menghasilkan manfaat positif yang sangat besar, termasuk pekerjaan berkualitas, pengurangna polusi udara, peningkatan aktivitas fisik untuk kebugaran, dan perbaikan perumahan dan pola makan, ungkap mereka.
Langkah ini juga meningkatkan kepastian sosial dan ekonomi kesehatan, terutama kelompok yang di bawah garis kemiskinan dan yang rentan akibat pagebluk COVID-19. Maka, negara-negara berpenghasilan tinggi harus berbuat jauh lebih banyak untuk mendukung seluruh dunia secara berkeadilan, dan mengurangi konsumsi sendiri.
Negara berpenghasilan tinggi harus berkomitmen untuk meningkatkan pendanaan iklim, yakni memenuhi komitmen tinggi untuk menyediakan USD 100 miliar per tahun, dan berfouks ganda pada mitigasi dan adaptasi, termasuk meningkatkan ketahanan sistem kesehatan.
Para editor menjelaskan, uang sebesar itu harus diberikan dalam bentuk hibah, bukan pinjaman, dan harus disertai dengan amnesti utang yang besar, yang membatasi pihak lain yang memakan dana untuk negara berpenghasilan rendah, demi menghindari kerusakan dan konsekuensi krisis lingkungan.
Baca Juga: Peringatan 14.000 Ilmuwan: Bumi Memburuk dengan Cepat, Ini Tandanya
"Sementara negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah secara historis berkontribusi lebih sedikit terhadap perubahan iklim, mereka menanggung beban dampak buruk yang luar biasa, termasuk pada kesehatan," ungkap Lukoye Atwoli, Editor-in-Chief East African Medical Journal.
"Oleh karena itu kami menyerukan kontribusi yang adil di mana negara-negara kaya di dunia berbuat lebih banyak untuk mengimbangi dampak tindakan mereka terhadap iklim, mulai sekarang, dan berlanjut ke masa depan."
Fione Godlee, Editor-in-Chief The BMJ menambahkan, "Para profesional kesehatan telah berada di garis depan krisis COVID-19. Dan mereka bersatu dalam peringatan bahwa suhu di atas 1,5 derajat Celsius dan membiarkan perusakan alam terus berlanjut akan membawwa krisis berikutnya yang lebih mematikan."
"Negara-negara yang lebih kaya harus bertindak lebih cepat dan berbuat lebih banyak untuk mendukung negara-negara yang sudah menderita akibat suhu yang lebih tinggi. 2021 harus menjadi tahun di mana dunia berubah arah--kesehatan kita bergantung padanya."
Baca Juga: Polemik Sci-Hub: Penolong atau Penghambat Perkembangan Sains Dunia?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | eurekalert,The Lancet |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR