Tari (40), pedagang kaki lima di Jalan Malioboro, Yogyakarta, selesai menyemprot trotoar jalan dengan air bertekanan tinggi, Sabtu (15/2). Dua hari terakhir, sejak erupsi Gunung Kelud, sekitar 300 kilometer dari Kota Yogyakarta, lapak belangkonnya tertutup abu vulkanik.
Ia tak sendiri. Bersama 25 pedagang anggota Kelompok Pedagang 7 Tridarma, mereka membersihkan abu vulkanik secara mandiri. Berjarak 200 meter dari Kantor Gubernur DI Yogyakarta, mereka tak mengharapkan bantuan pemerintah.
Tak ada uang sepeser pun yang mereka keluarkan untuk membersihkan abu vulkanik setebal 3-4 sentimeter itu. Juga tidak ada upah. Semua dilakukan sukarela. Air penyemprot abu itu sumbangan toko-toko di depan lapak pedagang.
"Dua hari libur, mungkin besok kami sudah bisa berjualan lagi. Kami juga kehilangan pendapatan rata-rata Rp 1 juta selama dua hari. Tetapi, belajar dari Merapi, kami harus menerima ini dengan ikhlas," kata Tari.
Di Yogyakarta, masyarakat, polisi, dan tentara bergotong royong membersihkan 24 perempatan dan beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta. Meski berpengalaman saat erupsi Merapi 2010, dampak abu vulkanik Gunung Kelud ternyata lebih parah.
"Ini lebih tebal dibandingkan abu vulkanik erupsi Merapi tahun 2010," kata Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti yang memantau gotong royong di Jalan Malioboro. Semua hidran di lokasi kunjungan wisata tersohor di Yogyakarta itu dinyalakan untuk menyemprot abu.
Ketebalan abu vulkanik kali ini mencapai 3-4 cm. Adapun ketebalan abu vulkanik ketika erupsi Merapi di bawah itu.
Selain Yogyakarta, tim wartawan Kompas yang menyusuri jalan darat jalur selatan mulai Jumat malam, dari Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Ngawi, Madiun, Surabaya, hingga Kediri menjumpai kegiatan gotong royong warga.
Memasuki Yogyakarta melalui jalur selatan Jawa bak melintasi badai padang gurun. Meski abu vulkanik turun di daerah selatan Pulau Jawa lainnya, seperti Bandung, Tasikmalaya, Cilacap, Banyumas, Purworejo, Solo, hingga Ngawi, wilayah Yogyakarta yang bisa dibilang paling menderita. Tanpa guyuran hujan, abu beterbangan di jalan. Pejalan kaki dan pengemudi sepeda motor berbalut masker. Tak seperti biasanya, kali ini Yogyakarta lengang.
Sepanjang perjalanan, tim menjumpai siswa sekolah, guru, polisi, tentara, dan warga—anak-anak, dewasa, hingga orangtua—bahu-membahu membersihkan ruang-ruang publik.
"Sejak pukul 05.00, kami mengerahkan dua pemadam kebakaran untuk menyemprot abu yang menyelimuti Alun-alun Purwokerto," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Pemadam Kebakaran Banyumas Daryono.
Di Solo, warga di perumahan dan perkampungan juga membersihkan halaman rumah dan jalan-jalan lingkungan dari abu vulkanik. Mereka menggunakan peralatan seadanya, seperti sapu lidi, engkrak (pengeruk sampah), ember, dan sekop. Warga juga menggunakan selang untuk menyemprotkan air agar abu tidak beterbangan. "Abunya tebal sekali. Tidak bisa hilang hanya disemprot dengan air. Jadi ini harus dikeruk," ujar Hasta (43), warga Gatak, Sukoharjo.
Hasta sangat kewalahan membersihkan abu vulkanik. Ia telah mengeruk abu di jalan depan rumahnya sejak pagi. Namun, abu dengan ketebalan 1-2 sentimeter itu masih melimpah. "Tadi dikeruk dapat 10 ember kecil. Lelah sekali. Itu pun belum bersih," ucapnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR