Bobby Salomos menjelaskan bahwa saham dan kekayaan VOC tak tertandingi jika dibandingkan dengan perusahan-perusahaan yang ada hari ini. "VOC memiliki nilai saham perusahaan sebesar 78 juta gulden Belanda, itu merupakan nominal yang sangat besar, serta keberhasilan bisnis yang cukup solid," tulisnya dalam sebuah artikel di Dutch Review.
"Nilai tersebut hari ini diperkirakan senilai US$7,9 triliun" tambahnya. "Pada puncaknya, saham VOC bernilai setara dengan gabungan Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo, dengan total 7,9 Triliun US Dollar."
Lantas, bagaimana kekuasaan VOC bisa berakhir dan kekayannya kemudian lenyap pada akhir abad ke-18?
Ailish Lalor, seorang sejarawan, juga pernah menulis di Dutch Review bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan kejatuhan VOC. "Ada banyak masalah dengan cara VOC beroperasi di Asia —beberapa di antaranya menguntungkannya di masa-masa awal. Namun, seiring berjalannya waktu hingga abad kedelapan belas, retakan mulai terlihat dalam kecakapan komersial VOC," tulis Lalor.
Baca Juga: Kekayaan Google atau Apple, Tidak Mampu Menandingi Kekayaan VOC
Salah satu masalahnya adalah bahwa VOC membawa semua barang yang diperdagangkan antara Asia dan Eropa terlebih dahulu ke pos-pos perdagangannya di Asia untuk disortir atau disimpan. Sebaliknya, Perusahaan Hindia Timur Inggris (East India Company/EIC) akan berdagang langsung antara Eropa dan, misalnya, Tiongkok. Ini berarti bahwa kompetitor VOC tersebut melakukan perjalanan yang lebih cepat dan menyediakan barang yang lebih segar.
Masalah lainnya adalah kenakalan para stafnya yang disebabkan oleh VOC itu sendiri. Menurut Lalor, VOC sesungguhnya adalah perusahaan besar yang buruk, seperti banyak perusahaan multinasional modern. "VOC menawarkan upah rendah dan melarang para stafnya untuk terlibat dalam perdagangan pribadi, yang berarti mereka tidak memiliki kesempatan untuk menaikkan penghasilan mereka secara legal.
Tentu saja, banyak dari staf VOC kemudian melakukan kecurangan/fraud dan korupsi. VOC kemudian mengalami kerugian yang sangat besar akibat korupsi oleh para pegawainya. Meskipun kerugian ini, menurut Lalor, mungkin tidak sepadang dengan banyaknya staf VOC yang harus mati dan menderita akibat perjalanan jauh yang berbahaya, perang, berbagai penyakit dari berbagai belahan dunia, kekurangan gizi, dan beberapa penyakit kelamin yang fatal.
Baca Juga: Coen Geram, Ada Pelanggaran Seksual di Kantor VOC Batavia
Masalah besar lainnya yang menjadi penyebab keruntuhan VOC adalah kemampuan matematika mereka. "VOC membayar dividen pemegang sahamnya melebihi keuntungan yang mereka hasilkan dari tahun 1730 dan seterusnya. Katakan saja lagi: VOC memutuskan untuk membayar pemegang sahamnya lebih dari yang dihasilkannya. Saya bukan pebisnis, tapi ini jelas merupakan ide yang buruk," kata Lalor.
Hal ini menyebabkan VOC tidak memiliki cukup likuiditas untuk membiayai operasinya selama tujuh puluh tahun terakhir VOC aktif. VOC kemudian mengandalkan pinjaman jangka pendek untuk membiayai operasinya.
Dan akhirnya perang benar-benar mengakhiri keberadaan VOC. Pada tahun 1780, Perang Inggris-Belanda keempat dimulai, dan setengah dari armada VOC hancur. Selanjutnya, kontrol pos perdagangan VOC di Asia secara besar-besaran melemah.
"VOC benar-benar kacau balau setelah perang, seperti halnya Republik Belanda," tulis Lalor.
Dan sejak tahun 1799, kontrak VOC akrhinya tidak diperpanjang. Kekuasaan bahkan status operasional perusahaan yang pernah menjadi kongsi dagang terbesar di dunia itu praktis sudah berakhir dan lenyap sepenuhnya.
Baca Juga: Jelang 400 Tahun Kastel Batavia, Arkeolog Menyingkap Satu Bastionnya
Source | : | Dutch Review |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR