Para peneliti yang tergabung dalam tim INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System) Badan Litbang Kehutanan mencoba membuat jawabannya. Tim yang terdiri Haruni Krisnawati, Wahyu Adinugroho, Rinaldi Imanuddin dan Silver Hutabarat menghitung stok karbon dengan mengambil sampel provinsi percontohan: Kalimantan Tengah.
Pendekatan dilakukan dengan mengambil analisis terhadap tingkat pendugaan pertumbuhan pohon untuk menghitung biomassa hutan. Para peneliti membedakan antara hutan primer (hutan utuh yang belum terganggu) dengan hutan sekunder (hutan yang telah terganggu), serta membedakannya menjadi tipe hutan yang berada di lahan kering, hutan rawa dan hutan bakau.
Bagaimana hasilnya?
Studi menujukkan bahwa nilai faktor emisi, yaitu satuan yang digunakan untuk mengukur tingkat emisi dan serapan CO2 yang dihasilkan, berbeda untuk tiap-tiap tipe hutan.
Nilai faktor emisi didapatkan sebesar 222 ton karbon/ha pada hutan lahan kering primer, 178 ton karbon/ha pada hutan lahan kering sekunder, 157 ton karbon/ha pada hutan rawa primer, 140 ton karbon/ha pada hutan rawa sekunder, 162 ton karbon/ha pada hutan bakau primer dan 116 ton karbon/ha pada hutan bakau sekunder.
Penelitian ini diklaim lebih rinci dari studi serupa yang pernah dilakukan oleh para peneliti di hutan tropis Brasil. Diharapkan dengan penelitian ini maka dapat berkontribusi dalam melaporkan emisi gas efek rumah kaca secara reguler.
Secara metodologis, jumlah karbon yang terserap dan ada di dalam hutan dapat saja bertambah dari nilai yang disampaikan oleh para peneliti. Hal ini dapat terjadi, mengingat penelitian ini mendasarkan pada perhitungan biomassa dan stok karbon hutan dan tidak memasukkan karbon tanah. Para peneliti menaksir komponen biomassa pohon di atas permukaan tanah mewakili sekitar 44-65% dari biomassa hutan total.
Emisi dari Hutan Berpengaruh kepada Atmosfer Bumi
Emisi yang dikeluarkan dari hutan ternyata berpengaruh besar kepada atmosfer di bumi. Profesor Mark Cochrane, peneliti senior dari Geospatial Sciences Centre for Exellence, menyebutkan bahwa emisi karbon dari perubahan tutupan lahan sangat berpengaruh secara signifikan secara global.
Diperkirakan sementara ini berdasarkan hasil penelitian emisi dari karbon hutan mencapai 40 persen dari total emisi karbon akibat bahan bakar fosil di dunia selama beberapa tahun.
Pada tahun 1990-an, atas Perintah Presiden Soeharto waktu itu, Proyek Mega Rice Project atau "Lahan Sejuta Hektar" di Kalimantan Tengah telah mengubah bentang lahan gambut untuk dijadikan wilayah pertanian, yang berakhir dengan kegagalan total.
Sejak saat itu, kawasan eks proyek tersebut, menjadi area yang rawan kebakaran dan berpotensi untuk terus mengeluarkan emisi karbon. Selain itu konversi lahan dari hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar dan pertambangan di Kalimantan Tengah turut memberikan sumbangan kepada emisi karbon yang ditimbulkan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR