Peta yang kita kenal biasanya menunjukkan letak kota, danau, gunung, sungai, jalur kereta api dan batas antarwilayah. Peta kota Jakarta yang dianggap terbaik dan terdetail susunan Gunther W Holtoff, misalnya, lebih terfokus pada jalur jalan raya. Panduan bagi pengendara. Tapi, adakah peta yang bisa menunjukkan, rindang pepohonan sang rumah bagi burung dan tupai? Ada. Green Map alias Peta Hijau namanya.
Tuk! Wendy Brawer, warga negara AS, nyaris kena timpuk kerikil. Pelakunya, orangutan penghuni Kebon Binatang Wirogunan, Yogyakarta. Alih-alih takut dan marah, Wendy justru terpercik ilham. Alam – hewan terkurung sekalipun – bisa terus mempengaruhi hidup kita di kota. Mengenali lingkungan terdekat, tempat kita tinggal, bekerja dan berkegiatan, mungkin cara terbaik untuk menikmati. Saat itu, 1989.
Gagasan ini mengental sejak Desember 1991, menjelang Earth Summit di markas besar PBB di New York. Bagaimana ratusan peserta konferensi, ahli lingkungan dari seluruh dunia yang mungkin baru pertama kali dan sekali-kalinya ke New York bisa didorong merasakan perkembangan lingkungan New York.
Peta, yang bisa memberi tahu “di mana kita sekarang” dan “ke mana kita dapat pergi” bisa jadi pilihan. Yang menunjukkan jalur jalan, tempat-tempat menyenangkan dan berguna, dan sebaliknya yang mengingatkan pula, ada yang harus dibenahi dan dihindari.
Wendy menyebutnya, Green Apple Map (GAM), mengambil julukan New York, Big Apple. Riset dan pengembangan dibantu desainer grafis Hall Drellich dan the Municipal Art Society menghasilkan 10.000 copy GAM, diedarkan di PBB dan kesempatan pertemuan lain tentang lingkungan kota pada musim semi 1992.
Jadi, Green Map dikembangkan dengan dua tujuan utama. Menciptakan cara pandang baru bagi warga kota untuk menemukan cara jitu menikmati hidup di perkotaan, dan memandu wisatawan terutama yang berjiwa petualang ke tempat-tempat istimewa bernuansa hijau yang bisa mereka rasakan hingga ingin menirunya di tempat tinggal mereka sendiri.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR